Bagaimana Sekolah dan Pendidikan di Luar Negeri Selama Pandemi Covid-19?
Artikel ini membahas tentang yang terjadi pada sekolah dan pendidikan di berbagai negara selama pandemi Covid-19
—
Di artikel ini, kita sudah punya gambaran tentang sistem pendidikan di beberapa negara yang nilai PISA-nya bagus. Setelah pandemi Covid-19 melanda, pendidikan jadi salah satu sektor yang terkena imbas. Di Indonesia, sampai sekarang, sekolah-sekolah masih ditutup. Pembelajaran diubah menjadi online learning. Semua demi kita yang tetap sehat dan menurunnya jumlah korban. Meskipun tidak bisa dimungkiri, keputusan ini harus dibayar mahal. Apakah metode pembelajaran online learning ini efektif? Masalah-masalah ini ditambah dengan kakak kelas yang kemarin mempersiapkan diri menghadapi UTBK. Tahun ajaran baru untuk PAUD, SD, dan SMP pun akan dimulai bulan Juli ini, juga dengan metode online.
Tapi, apa yang terjadi di negara lain?
Apakah situasi negara-negara lain sama dengan yang terjadi di Indonesia? Yuk kita cari tahu!
Setelah 76 hari melakukan lockdown, dan tidak ditemukan kasus positif baru, sejak bulan mei lalu, murid di Wuhan, Tiongkok, sudah berangsur-angsur kembali ke sekolah. Sedikit demi sedikit, pemerintah membuka kembali lembaga pendidikan mulai dari TK sampai kampus. Kurang lebih ada 39% murid yang telah kembali melakukan kegiatan pembelajaran di sekolah.
Mereka yang bisa kembali adalah mereka yang sedang menyiapkan gaokao, semacam UTBK versi mereka gitu deh. Tanggal 7-10 Juli kemarin, anak SMA di Tiongkok lagi nyiapin ujian buat masuk kampus. Jadi, ya, kurang lebih situasinya sama kayak kita. Suasananya lagi “hot” dan kompetisi sedang ketat-ketatnya. Di tengah pandemi kayak gini, orangtua dan murid sama-sama cemas karena harus berebutan masuk ke kampus-kampus yang mereka mau. Apalagi tahu sendiri, kan, gimana kerasnya pendidikan di Tiongkok? Strategi “penerapan banyak tugas dan metode pengulangan” itu. Pembelajaran jarak jauh tentu jadi masalah tersendiri. Baik dari sisi murid, maupun guru.
SMA di Wuhan, Tiongkok, saat pandemi (Sumber: cbsnews.com)
Di banyak kota besar di Tiongkok, anak SMA udah mulai masuk sejak 27 April lalu. Jadi, ada sekitar 2 bulan mereka melakukan persiapan masuk kampus di kelas.
Baca juga: Bagaimana Sistem Pendidikan Indonesia Dibanding Negara Lain?
Tentu aja, keadaan sekolah di sana tidak “normal”. Ada protokol ketat yang harus dijalankan. Semua murid yang mau masuk harus mengikuti tes terlebih dahulu (baca: tes corona, bukan ngetes “Coba siniin, aku mau liat hape kamu!” lalu kalau panik dia gagal).
Sebelum benaran masuk sekolah lagi, kelas-kelas disemprot desinfektan. Ada petugas di depan gerbang yang mengecek suhu. Setiap orang wajib memakai masker (termasuk kegiatan fisik kayak olahraga), jumlah orang per kelas dikurangin, jarak antarmeja dibuat renggang. Koridor dan jalur-jalur dibuat satu arah. Beberapa sekolah membuat sekat antarmeja… udah kayak di warnet.
Perangkat pembelajaran kayak Perpustakaan Nasional di Beijing juga udah mulai buka. Dan iya, tidak sembarang pengunjung bisa masuk. Orang-orang yang mau meminjam buku perlu membuat janji terlebih dahulu melalui aplikasi. Kalau di aplikasi nanti kamu terdeteksi aman, baru, deh, boleh datang untuk meminjam.
Pada 18 mei lalu, berbagai Menteri Pendidikan dari EU mengadakan perbincangan mengenai pembukaan sekolah kembali. Pada masa itu, 22 negara Eropa sudah mengembalikan murid ke sekolah selama beberapa minggu. Kebanyakan, sih, (17 negara) baru mengembalikan anak TK, SD, dan SMP yang udah kelas-kelas akhir. Setelah pembukaan ini, ternyata nggak terjadi peningkatan kasus Covid-19 yang signifikan. Meskipun, nggak bisa dimungkiri juga, Israel dan Prancis punya klaster baru yang didapat dari lingkungan sekolah gara-gara sekolah dibuka lagi. Tapi, skalanya masih kecil dan bisa diperkirakan.
Baca juga: Toxic Positivity: Ketika Ucapan Positif Berdampak Negatif
Penelitian di Irlandia mengatakan kalau nggak ada bukti penularan sekunder dari anak-anak yang masuk sekolah. Dari 56.000 yang dites, cuma ketemu dua sampel di mana anak menularkan ke orangtuanya. Justru yang banyak sebaliknya: orangtua menularkan ke anak.
Tapi, lagi-lagi, ini bukan berarti pembukaan sekolah tidak berdampak terhadap penularan covid-19, lho ya.
Kebanyakan sih sekolah buka lagi setelah kurvanya melandai ya (Sumber: cnn.com)
Jean-Michel Blanquer, Menteri Pendidikan Prancis bilang kalau saat ini, ada 70 ribu orang yang masih mengikuti kelas online. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan akan ada 500 ribu murid yang terancam DO (baca: drop out, bukan D.O EXO. Kalo itu, mah, saya pengin). Kemungkinan ini yang bikin si Menteri lumayan concern untuk mempertimbangkan buka sekolah kembali. Meskipun, tentu aja dengan melihat zona/daerah yang aman dari Covid dan mengikuti peraturan ketat. Sekolah di La Grand-Croix dan Val-de-Reull, misalnya, murid-murid harus mengenakan masker dan face shield selama berkegiatan. Dobel tuh. Masker iya, face shield iya. Di beberapa sekolah kanak-kanak, lapangannya ada tanda kapur untuk melakukan social distancing.
TK di Tourcoing, Prancis, menggunakan kapur untuk tanda social distance (Sumber: abcnews.go.com)
Di Denmark, beberapa sekolah membuka kelas di tempat terbuka dengan upaya mengalirkan udara keluar. Ya, ada beberapa di antara mereka yang belajar di parkiran. Bisa dibayangkan, selesai memberikan materi pelajaran, gurunya bilang, “Yak! Sekarang waktunya latihan ya. Kerjain soal halaman 13!” eh, sayup=sayup terdengar, “ROUUUSS! ROUUSSSHH?!”
Kirain tukang parkir, ternyata murid yang gerutu karena gak suka dikasih tugas. 🙁
Sekolah di Denmark belajar di outdoor (Sumber: theguardian.com)
Jumlah orang di tiap kelas di Denmark juga dikurangi. Sekarang, satu kelas hanya terisi 15 murid dengan jarak antarmeja yang dibuat 6 kaki (kurang lebih 2 meter). Di sisi lain, sekolah di Neustrelitz, Jerman Utara, selalu mengadakan tes setiap dua minggu sekali. Kalau ada murid yang kedapatan positif, mereka harus karantina diri di rumah selama dua minggu. Mereka yang negatif, akan mendapatkan stiker hijau.
Duh, ngomongin soal Amerika Serikat akan sedikit complicated. Tapi kita coba ya. Pertama, Emma Dorn dan kawan-kawan, dalam tulisannya di Covid-19 and Student Learning in the United States: The Hurt Could Last a Lifetime bilang kalau sejatinya, pendidkan di Amerika tidak dibuat untuk tipikal kayak pandemi gini (penutupan sekolah).
Jadi tahu dong kondisi di AS sekarang gimana? Ya masih bergantung sama online learning.
Dan di bagian ini, Amerika punya masalahnya sendiri.
Pertama, di 28 negara bagian, ada sekitar 48% murid K-12 yang nggak dikasih instruksi buat pembelajaran jarak jauh. Hasilnya? Ya mereka pasrah aja gitu nunggu sampai sekolah dibuka lagi.
Peta sebaran negara bagian AS yang sekolahnya masih ditutup (Sumber: Edweek.org)
Kedua, dari kategori para pembelajar online di sana. McKinsey & Company membaginya menjadi 3 kategori. 1) Murid yang disebut quality remote learning. Tipikal murid yang bisa beradaptasi, enjoy, punya akses, dan bisa nangkep materi pembelajaran online dengan baik. 2) Murid yang semakin lama ngejalanin, semakin capek dan susah nangkep materi (low quality), dan 3) Murid yang nggak dapat instruksi sama sekali dari lembaga pendidikan. Murid-murid yang rentan drop out.
Lalu, ada apa dengan ketiga kategori ini? Bukannya ini juga pasti terjadi di mana-mana? Indonesia juga kayaknya begini deh. Nah, masalahnya, kalau ini terjadi untuk jangka waktu yang lama, bukan tidak mungkin akan terjadi kesenjangan pendidikan di satu generasi yang sama. Kalau mereka semua masuk sekolah dengan normal di Januari 2021 nanti, tiap dari mereka bisa kehilangan kesempatan belajar mulai dari 3 sampai 14 bulan, tergantung dia masuk kategori pembelajar online yang mana. Sadis banget gak sih? Padahal, di hari yang normal, murid Amerika yang ketinggalan materi pelajaran 10 hari aja punya peluang sebesar 36% untuk gak naik kelas. Gimana ini coba sampai setahun?
Prediksi kehilangan kesempatan belajar dan jumlah putus sekolah di SMA Amerika
Belum lagi di Amerika, tuh, ada gap juga terhadap orang kulit hitam, berpendapatan rendah, dan hispanik (punya keturunan Spanyol/latin). Tentu aja orang-orang berpendapatan rendah nggak akan bisa menjangkau online learning. Atau lingkungan pembelajarannya nggak nyaman, atau akses yang nggak memadai. Bukan tidak mungkin, lama-kelamaan, kalau kondisinya begini terus, orang-orang ini akan memutuskan berhenti sekolah dan mencari cara untuk bertahan hidup aja.
Data dari i-Ready digital instruction and assessment software bilang kalau 60% aja orang berpendapatan rendah yang login di online learning (dibandingkan pendapatan tinggi sekitar 90%). Ini baru urusan login ya. Belum bagaimana mereka menyerap materi dan memahaminya.
Mungkin ini kali ya salah satu alasannya kenapa belakangan ini Donald Trump kepikiran untuk buka sekolah lagi. Dia, sih, bilangnya gini: “In Germany, Denmark, Norway, Sweden, and many other countries, SCHOOLS ARE OPEN WITH NO PROBLEMS.” Atau dalam bahasa kita: Noh mereka aja gakpapa noh. Kite begitu juga ngapa!
Tapi, ya, kebijakan ini, kan, nggak bisa seenaknya gitu aja. Banyak banget hal yang harus diperhitungkan. Apalagi sekarang Amerika Serikat memuncaki tangga klasemen kasus positif Covid-19.
Seperti yang kita tahu, Korea Selatan adalah negara yang cukup care sama pendidikan. Persaingannya ketat. Murid-murid bakalan berlomba siang malem supaya bisa dapet nilai bagus di ujian masuk kampus. Bayangin, ujian masuk kampus di sana, tuh, kayak ujian 8 jam penuh dan bagi mereka ujian ini jadi semacam momen krusial karena berpengaruh besar ke masa depan orang-orang Korea.
Berhubung situasi corona, ujian ini diundur sampai Desember. Bakalan ada 440 ribu murid yang bersaing buat nentuin masa depan dan karir di situ. Kampus-kampus kayak Universitas Yonsei akhirnya bikin pembelajaran jarak jauh kayak rekaman video, live telelecture sampai 28 maret kemarin.
Satu hal yang khas di Korea Selatan juga ini: hagwon. Semacam tempat les privat yang biasa didatangin murid sepulang sekolah. Nah, berhubung sekarang sekolah pada tutup, hagwon ini ngasih tugas bisa berkali-kali lipat dibanding sebelumnya. (ngacung coba yang selama online learning tugasnya auto dikasih banyak!)
Sampai akhirnya, Korea Selatan membuka sekolah lagi di tanggal 20 mei.
Sekolah di Korea saat Covid-19 (Sumber: people.com)
Eh, baru beberapa hari setelah sekolah dibuka, pemerintah di sana menutup kembali 200 sekolah karena ada kasus Covid-19 baru. Baru sehari setelah ribuan murid kembali, langsung muncul 79 kasus positif baru, yang mana merupakan jumlah tertinggi selama dua bulan terakhir.
Di Incheon, kota dekat Seoul, 66 sekolah juga terpaksa ditutup kembali karena ada dua murid yang terjangkit virus corona. Jadi, posisi Korea Selatan sekarang masih mencari waktu dan situasi yang pas untuk membuka sekolahnya lagi. Karena dia nggak mau pembukaan sekolah ini malah menjadi penyebab meningkatnya kasus Covid-19 kan.
Nah, sekarang kamu udah kebayang, kan, bagaimana kondisi sekolah dan para murid di masa Covid-19 kayak gini? Tentu, kita nggak bisa ngebandingin begitu aja karena ini juga dipengaruhi oleh jumlah kasus dan bagaimana pemerintah menanggulangi Covid-19 ini. Kalau kamu disuruh milih, kira-kira pengin ada di negara mana dan kenapa? Coba tulis di kolom komentar!
—
Download sumber: