Paulo Freire: Benarkah Pendidikan Bisa Membebaskan?
Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, kami memperkenalkan Paulo Freire, edukator Brazil, dan mencari tahu pemikirannya.
—
Saya pernah dekat dengan perempuan yang menganggap sekolah seperti penjara. Kejadian ini sepuluh tahun lalu, ketika saya masih polos dan, karena saya tidak ingin merenggangkan hubungan kami, saya menggunakan jurus yang selalu digunakan cowok agar nyawanya selamat: iya iya saja sambil berhehehe.
Saya tahu, di kalangan teman-teman seangkatan saya, banyak juga yang berpikir seperti itu.
Mereka bilang guru ini tidak asik, atau sekolah itu mengekang, atau peraturan-peraturan anu dianggap merampas kemerdekaannya sebagai murid. Sekolah adalah pabrik yang memproduksi robot-robot sesuai keinginan mereka, katanya.
Terus terang saja, di masa itu, saya tidak pernah berpikir sejauh itu. Atau bahasa gampangnya: Otak saya gak nyampe.
Buat saya, sekolah cuma seperti taman bermain besar di tengah perumahan. Kamu bisa datang untuk bermain, atau duduk-duduk, atau piknik. Kamu bisa membuatnya jadi tempat berkumpul teman satu geng, atau datang membawa bola dan mengajak main orang random di sana. Buat saya, tidak ada aturan khusus tentang kapan dan apa yang harus kamu lakukan di sana.
Buat saya, di masa itu, sekolah adalah playground.
Belajar di sekolah, buat saya cuma persoalan menemukan “Oh gitu!” yang menyenangkan. Saya senang menemukan “Oh gitu!” “Oh gitu!” kecil di antara kesetresan belajar. Meski susahnya bukan main, perasaan yang saya dapat setelah menemukan “Oh gitu!” selalu sama: takjub, sekaligus melahirkan kesombongan kecil karena “Cih, ternyata begini aja, toh.” Satu hal yang saya ingat betul adalah kalimat “Udah nyari panjang-panjang, ternyata jawabannya nol!” sambil menggeplak dan mengeluarkan hujatan lucu khas anak sekolah.
Padahal, mah, dalam hati bangga juga itu.
Ini mungkin perasaan yang sama ketika kamu nyasar di suatu jalan, dan kamu kembali menemukan jalan yang benar. Lalu kamu, “Lah, ternyata keluarnya di sini!” Kamu kemudian bisa menemukan gambaran besar dari jalanan tersebut. Dari mana kamu berasal, kalau belok kanan ternyata ke mana, dan tempat kamu nyasar tadi adalah kesalahan yang biasa saja.
Baca juga: Hari Pendidikan Nasional: Nggak Selamanya Nilai Jadi Patokan
Meski ketimbang menyuarakan “Oh gitu!” saya lebih sering memekik “Oh, anjrot! Cobaan apalagi ini, Tuhan?!” sambil nangis berjamaah, perasaan itu yang selalu bikin saya happy ketika belajar di sekolah. Sisanya? Saya melakukan hal-hal yang saya sukai aja; duduk di depan kelas, jajan siomay, dan menarik rambut teman perempuan ketika ia mengikatnya. Meskipun dalam hati, saya masih memikirkan anggapan teman perempuan saya soal sekolah seperti penjara itu.
Sampai saya kenal Paulo Freire.
Dia adalah edukator dari Brazil. Pandangannya soal pendidikan lumayan seru dan ia mengabadikannya dalam buku-buku. Dari Literacy, a Pedagogy for Liberation, sampai Pedagogy of the Oppressed. Saya tahu nama Freire belakangan saja, dari salah satu teman penulis juga.
Lucunya, membaca tulisan-tulisan Freire seperti mendengar kembali curhatan teman saya sepuluh tahun yang lalu. Saya jadi bisa ikut merasakan apa yang ia resahkan ketika itu (ya, meskipun saya sadarnya telat).
Masa di mana Freire hidup adalah masa yang lumayan kelam bagi Brazil. Dan menurutnya, pendidikan bisa menjadi jalan keluar. Ia semestinya bisa dipakai untuk mengakhiri kelaparan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pendidikan, kata Freire, seharusnya membebaskan.
Maksudnya, pendidikan merupakan pewarisan individu dari satu generasi ke generasi lain, dengan menanamkan kejujuran dan tanggung jawab. Pendidikan juga harus membentuk pribadi manusia. Artinya, pendidikan bukan cuma dilihat sebagai pengiriman informasi dari satu kepala ke kepala yang lain. Dia menyebut ini sebagai “banking education”.
Banking education adalah istilah yang ia pakai ketika pendidikan cuma dipakai sebagai tempat penampungan ilmu pengetahuan. Ibaratnya, guru cuma memasukkan informasi-informasi ke dalam kepala murid. Seperti kita memasukkan koin ke dalam celengan.
Apakah murid bertambah pengetahuannya? Tentu.
Kepala murid jadi lebih “kaya”.
Tapi, apa itu cukup? Belum tentu.
Bagi Freire, pendidikan seharusnya bukan cuma penambahan ilmu pengetahuan, tetapi menjadi proses penyadaran. Dia menyebutnya dengan critical consciousness. Bagaimana kita, dengan pendidikan, bisa menjadi kritis, bisa menafsirkan masalah-masalah, dan bisa memahami hubungan sebab akibat dari suatu hal.
Baca juga: Bagaimana Sistem Pendidikan di Indonesia Dibanding Negara Lain?
Makanya, menurut Freire, dialog adalah hal yang penting dalam sebuah pembelajaran. Pembelajaran, lagi-lagi, bukan tentang satu orang yang lebih pintar mentransferkan ilmu kepada yang kurang. Bukan si guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan si murid menerima, mengiyakan, dan menghafal. Freire menaruh kecurigaan kalau begini terus, bisa saja “pengetahuan” itu disetel. Dipilih mana yang boleh diterima murid dan mana yang tidak. Sehingga, murid tanpa sadar didoktrin dan keluar sebagai robot-robot ciptaan sekolah. Itulah sebabnya butuh dialog di dalam pendidikan. Proses penyadaran “Oh gitu!” akan timbul dari sini.
Metode pendidikan yang digunakan Freire dikenal dengan problem posing education. Atau pendidikan hadap masalah. Kita, sebagai pembelajar, seharusnya mampu mengubah informasi menjadi sesuatu yang bisa kita lakukan sehari-hari. Yang manfaatnya terlihat secara real. Sehingga ia menyelamatkan. Sehingga kita terbebas dari penindasan. Ini, tuh, ibaratnya kayak ngelawan apa yang terjadi di situasi waktu itu. Di mana ia melihat pendidikan banyak mengadopsi sistem banking education.
—
Ketika seseorang sudah menyebut sekolah adalah penjara, berarti ia terkekang. Entah badannya, entah pikirannya. Saya, tentu tidak tahu betul apa yang teman perempuan saya maksud karena tidak pernah betul-betul menanyakannya.
Apa yang terjadi di sekolah saya bisa jadi tidak berlaku di sekolah-sekolah lain. Apalagi dengan perubahan zaman setelah sepuluh tahun ini.
Namun, pada kenyataannya, masalah pendidikan di Indonesia begitu kompleks. Lihat bagaimana satu orang guru harus mengecek empat puluh orang murid dalam satu kelas. Mencari tahu kekurangan dan kelebihan tiap individu, dengan jam belajar yang padat, mengeksplor cara menyampaikan materi yang menyenangkan, mengecek tugas-tugas. Lihat bagaimana sistem pendidikan kita punya begitu banyak mata pelajaran, begitu sering berganti kebijakan. Lihat bagaimana ketidakmerataan fasilitas, kualitas guru, dan akses terhadap pendidikan. Lihat bagaimana Indonesia menjadi negara nomor tiga terbawah yang memiliki growth mindset, berdasarkan laporan OECD 2021. Lihat situasinya setahun ke belakang. Lihat bagaimana belajar dari rumah yang tidak efektif akan memengaruhi bonus demografi kita.
Lain di Brazil tentu lain di Indonesia. Sekarang, kita bisa saling mencemooh dan mengeluh atau mulai melakukan yang bisa kita lakukan saja. Ki Hajar pernah bilang bahwa setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.
Blog ini mungkin cuma wadah kecil saja. Kami, para penulis, pengembang, dan pembuat desain juga bisa saja berganti-ganti. Tapi, kami membangun tempat yang kecil ini agar bisa kamu jadikan sebagai playground. Kamu bisa sesekali mengubahnya menjadi rumah atau guru. Kamu bisa mendatanginya sesekali ketika suntuk atau menjadikannya tempat menetap. Kami memang bukan ahli di semua bidang tapi kami, siapapun pengisi konten di blog ini, akan berusaha semampunya. Supaya kami bisa membuat tulisan yang bukan untuk kamu screenshot, lalu tinggalkan begitu saja. Karena, mengikuti kata Freire, kami akan menulis, supaya kamu bisa melihat dunia, bukan cuma membaca kata-kata.
Selamat Hari Pendidikan Nasional.
Cheers! 👊
—
Kalau ada hal yang mau kamu diskusikan terkait pendidikan di sekolahmu atau pembelajaran selama pandemi, atau apakah kamu setuju atau nggak dengan pemikiran Freire ceritain aja lewat kolom komentar ya! Kita sharing bareng-bareng biar yang lain juga bisa baca. Kalau kamu pengin pelajarin topik-topik sekolah dengan video beranimasi, tonton aja di ruangbelajar!
Referensi:
Freire, Paulo & Shor, Ira. A Pedagogy For Liberation: Dialogues on Transforming Education. 1987. Macmillan: London.
Freire, Paulo & Macedo, Donaldo. Literacy: Reading the Word & the World. 1987. Routledge: London.
OECD. Sky’s The Limit: Growth Mindset, Students, and Schools in PISA. 2021. [Daring]. Tautan: https://www.oecd.org/pisa/growth-mindset.pdf (Diakses pada: 29 April 2021).
Usman, Syaikhu. Belajar dari Rumah yang Tidak Efektif Selama Berpotensi Hapus Bonus Demografi. 2021. [Daring]/ Tautan: https://theconversation.com/belajar-dari-rumah-yang-tidak-efektif-selama-pandemi-berpotensi-hapus-bonus-demografi-159712 (Diakses pada: 2 Mei 2021).