Makan Cantik: Sebuah Hiperrealitas dalam Sosial Media
Artikel ini akan membahas tentang gaya hidup makan cantik sebagai sebuah hiperrealitas dalam sosial media.
—
“Eh, weekend ini kita enaknya ngapain ya, girls? Nongki–nongki gitu asyik kali, ya?” tanya Karina dalam sebuah grup WhatsApp yang terdiri dari dirinya dan ketiga temannya. “Wah, itu ide bagus sih, Kar. Kalau gue sih gas terus, gimana nih yang lain?” jawab Giselle terhadap Karina.
“Tenang, buat nongkrong sama kalian mah gue bisa terus. Tapi, ini saran gue aja, sih. Gimana kalau kali ini kita cari tempat makan yang next level gitu?” ajak NingNing. “Ooh.. kayaknya tau nih gue, maksud lo apa. Tempat makan next level tuh restoran dengan interior desain dan penyajian makanan yang cantik, kan?” tebak Karina.
“Yes, Kar. Intinya, si NingNing tuh ngajak kita makan cantik gitu, loh!” jawab Winter. “By the way Ning, gue setuju banget sama ide lo. Asli, Instagram story gue udah kelamaan nganggur gara-gara kerja mulu bagaikan kuda. Jadi, boleh lah kita makan cantik. Lumayan kan tuh, gue jadi bisa buat Instagram story ala-ala anak sultan” imbuh Winter bersemangat.
Okay guys, sampai disitu aja bocoran percakapan dalam grup WhatsApp Karina dan teman-temannya! For now, I honestly want to know what you think of that conversation. Memperhatikan tiga kata kunci penting dalam percakapan di atas, kamu mungkin sudah menebak sendiri sebutan yang paling tepat untuk mendeskripsikan fenomena tersebut. Hm, let me guess. Pencitraan? Well, I guess that’s close. But, here’s the thing, jika ada satu bidang ilmu yang bisa memberikan penjelasan paling baik mengenai fenomena di atas, maka itu adalah sosiologi.
Real question is, what would a true sociologist say about the phenomenon above? Istilah apa yang paling tepat untuk menjelaskan gaya hidup yang disebut sebagai makan cantik? Apa motif seseorang mengikuti gaya hidup itu? Atau kalau kata anak Jakarta Selatan zaman sekarang: “Biar dikata apa sih lo kayak gitu?” Untuk menjawab seluruh pertanyaan tersebut dengan sebaik mungkin, kamu membutuhkan cara berpikir yang anti–mainstream (dibaca: to think beyond common sense). Hm.. jadi penasaran kan sekarang? Yuk, temukan jawabannya pada pemaparan di bawah ini!
Simulasi dan Hiperrealitas: Says Jean Baudrillard
For those of you who might not know, Jean Baudrillard adalah seorang sosiolog, filsuf, sekaligus ahli teori budaya asal Prancis. Sampai hari ini, beliau terkenal karena tulisannya yang banyak merefleksikan ciri dari teori postmodern. Nah, sebenarnya, ada empat istilah kunci yang mendasari analisisnya, di antaranya adalah simulasi, media massa, tanda, dan komunikasi. Tapi, pada artikel ini, aku hanya akan mengambil pembahasan beliau tentang simulasi yang kemudian memproduksi hiperrealitas.
So, what exactly does simulation mean? Menurut Baudrillard, simulasi merupakan citra, simbol, gambar buatan, atau segala sesuatu yang “menyembunyikan” kenyataan. Untuk sebuah realitas palsu terbentuk, simulasi terlebih dahulu terjadi secara terus menerus dalam ruang dan waktu. Hm, kira-kira ada yang tau nggak sih, di era mass communication dan mass consumption gini, realitas palsu bisa dibentuk melalui apa? Jika kamu berpikir bahwa jawabannya adalah media, you’re absolutely right then!
Eits, bukan sembarang media loh, guys! Studi menunjukkan bahwa realitas bisa dibentuk melalui media-media yang informatif, edukatif, dan menghibur. Hayo, kebayang nggak contoh-contoh media yang aku maksud? Nih, khusus untuk kamu pembaca setia, aku udah siapin contohnya buat kamu. Jadi, media yang seringkali menampilkan simulasi itu adalah iklan, games, film atau drama, dan dalam konteks tulisan ini, sosial media. Melalui media-media tersebut, tercipta gambar-gambar yang “terlihat” begitu nyata tanpa asal usul realitas yang mendasarinya. Nah, fenomena yang satu ini kemudian didefinisikan oleh Baudrillard sebagai hiperrealitas.
Sejujurnya, terutama melalui sosial media, gambar yang dibagikan memproduksi “imagology” bagi audiensnya. Wait, wait, wait, imagology tuh apa sih? Imagology adalah kondisi dimana citra dianggap lebih penting daripada yang sebenarnya terjadi di dalam dunia nyata. Hm, udah keliatan kan hiperrealitasnya? Secara, audiens terlihat semakin kesulitan dalam membedakan mana realitas semu dan mana realitas sesungguhnya. Sungguh, perkembangan teknologi informasi memungkinkan setiap orang untuk membangun berbagai citra melalui sosial media.
Baca juga: Redefinisi Maskulinitas: K-Pop Idol Pria Lawan Toxic Masculinity melalui Seni
Segala Hal yang Perlu Kamu Ketahui Tentang Makan Cantik: It’s Not as Simple as You Think
Istilah makan cantik atau aesthetic eating digunakan untuk menggambarkan kegiatan makan yang dilakukan di restoran-restoran tertentu yang dipertunjukkan melalui sosial media. Bagi sebagian besar orang, makan cantik bukanlah suatu kegiatan yang bisa dilakukan setiap hari. Artinya, makan cantik biasa dilakukan sebanyak dua sampai empat kali dalam sebulan. Tidak berlaku untuk seorang Kylie Jenner, dengan total kekayaannya, ia bisa melakukan kegiatan makan cantik setiap hari!
Hm, kamu penasaran nggak sih dengan proses yang dilewati seseorang dari mulai sebelum sampai setelah melakukan kegiatan makan cantik? Untuk kamu yang penasaran, the answer is all here. Hal pertama yang paling krusial untuk dilakukan sebelum melakukan kegiatan makan cantik adalah memilih restoran yang tepat untuk dikunjungi. Ingat, restoran yang akan dikunjungi menentukan apakah kegiatan yang akan dilakukan di tempat itu bisa disebut sebagai makan cantik atau tidak.
Umumnya, pemilihan restoran memperhatikan aspek-aspek seperti desain interior ruangan, penyajian makanan, dan lokasi restoran itu sendiri. “Eh, kok si penulis nggak nyebutin pentingnya mempertimbangkan rasa makanan, sih?” Nah, itu dia letak keunikannya! Ternyata, sejumlah orang mengabaikan rasa dari makanan dalam memilih restoran yang akan dikunjungi, loh. Really, there is nothing more important than the restaurant’s aesthetic itself. Makanya, makan cantik cenderung dilakukan di restoran-restoran kelas menengah dan atas.
Kedua, setelah melakukan pemilihan restoran, masuklah sekelompok orang ke dalam kegiatan makan cantik. Saat kegiatan makan cantik berlangsung, dua hal yang tidak mungkin terlewatkan adalah pemotretan makanan yang dipesan dan pemotretan diri sendiri duduk manis di restoran pilihan. Hayo, siapa di antara kamu yang akrab dengan perkataan seperti: “Eh, bentar dong… jangan dimakan dulu, belum gue foto tau!”? Yup, pengambilan foto makanan tentunya dilakukan secara berulang kali dari berbagai sisi.
Food from Amuz Gourmet Restaurant (Sumber: https://www.chope.co/)
Mottonya adalah selama pelaku makan cantik belum mendapatkan gambar terbaik dari makanan yang akan disantapnya, pemotretan akan terus dilakukan. Tidak berhenti pada memotret makanan, pelaku makan cantik tentunya akan mengambil foto dirinya sendiri di restoran yang ia kunjungi. But remember, the key is to show off the restaurant’s unique and expensive taste of interior design.
Potret Makan Cantik di Salah Satu Restoran di Four Seasons Hotel Jakarta (Sumber: https://www.instagram.com/)
Last but not least, what’s the point of doing all that without sharing it to the world? Setelah melewati kedua tahap di atas, pelaku makan cantik menyiarkan kegiatannya melalui sosial media. Eits, nama dan lokasi restoran tentunya nggak boleh ketinggalan, dong. Ngaku deh, kamu yang pernah melakukan aktivitas makan cantik pasti sudah familiar kan dengan fitur “share your location” di Instagram story dan Instagram post? Anyways, aku jadi penasaran, nih. Kamu paling sering melihat sekelompok orang membagikan aktivitas makan cantiknya melalui media sosial apa, sih? Tulis jawabanmu di kolom komentar, ya!
Baca juga: 3 Film dengan Pesan Terbaik Sepanjang Masa yang Wajib Kamu Tonton
Makan Cantik Sebagai Sebuah Hiperrealitas dalam Sosial Media: How Does It Work?
Okay, enough with the introduction, let’s get your brain to work. Tahukah kamu? Gaya hidup berhubungan erat dengan kelas sosial dan citra seseorang. Kenapa makan cantik bisa dikategorikan sebagai suatu gaya hidup? Jawabannya tidak lain karena melalui aktivitas makan cantik, status sosial dan citra seseorang seperti menampakkan dirinya. Tell you the truth, aktivitas makan cantik sangat identik dengan gaya hidup masyarakat kelas atas.
Jika kamu renungkan kembali, kamu akan mengerti mengapa restoran yang biasa dikunjungi untuk melakukan aktivitas makan cantik adalah restoran kelas menengah dan atas. Ya, tentunya karena masyarakat kelas atas tidak merasa keberatan untuk membayar mewahnya pengalaman makan di restoran ternama. Also, if you notice how people get flawlessly dressed up for aesthetic eating, according to Baudrillard, orang-orang tersebut sebenarnya sedang berusaha untuk membangun citra masyarakat kelas atas.
Pertanyaannya, bagaimana aktivitas makan cantik itu bisa memproduksi hiperrealitas melalui sosial media? Jika diletakkan dalam kerangka pemikiran Baudrillard, simulasi dalam konteks tulisan ini adalah gambar makanan, desain interior restoran, dan pelaku makan cantik yang disiarkan dalam sosial media. Nah, gambar-gambar tersebut memiliki fungsi utama menyembunyikan “realitas” kelas sosial pelaku makan cantik. Hal ini terutama berlaku pada mereka yang dengan seluruh tenaganya mencoba membayar gaya hidup yang mahal untuk tujuan tertentu.
“Kadang kalo makanannya dikit tp enak udah nggapapa walaupun gue ga kenyang. Gue bakal menuhin kekenyangan gue nanti di tempat lain yang ga mewah gitu. Misalnya gue di di hotel Mulia makan salad gitu. Ujung–ujungnya gue bakal makan nasi goreng dipinggir jalan sampe kenyang.”
(Wawancara dengan MT, 27 Oktober 2015) dalam (Fitria, 2015)
Selanjutnya, simulasi memproduksi apa yang disebut oleh Baudrillard sebagai hiperrealitas. “Loh, kok bisa sampai memproduksi hiperrealitas? Gimana caranya?” Nah, kalau kamu ingat, hiperrealitas itu terjadi ketika audiens tidak lagi bisa membedakan mana realitas yang semu dan mana realitas yang sesungguhnya. So, think about it, jika temanmu berhasil memotret aktivitas makan cantiknya dengan begitu apik, mungkinkah terlintas di pikiranmu bahwa apa yang disiarkannya adalah realitas semu belaka? Nope and guess why? Jawabannya tidak lain karena media sosial adalah arena sosial terbaik untuk menciptakan hiperrealitas.
“Kalo dari apa yang gue lakuin mungkin iya. Karena gue yakin orang-orang ngeliat gue ih Bella makan ke tempat mahal mulu, Bella tajir ya, Bella hedon banget makan ke tempat–tempat cantik mulu. Tapi kan pada kenyataannya gue ga makan disana, gue cuma minum, gue cuma beli sesuatu yang murah lah disana. Padahal kan sebelum dateng kesitu gue makan pecel lele di pinggir jalan dulu. Jadi rahasianya itu, sebelum ke tempat mewah yang kaya Senopati yang makanannya mahal, padahal sebenernya gue sih minum doang.”
(Wawancara dengan GO, 8 November 2015) dalam (Fitria, 2015)
Baca juga: Suka Nonton Marvel? Yuk, Kenali Dulu Sejarah Film Animasi
As you can see, satu-satunya hal yang perlu kamu lakukan untuk menampilkan citra masyarakat kelas atas adalah memotret aktivitas makan cantik kamu dengan sebaik mungkin. Setelah itu, kamu hanya tinggal rileks dan membiarkan sosial media melakukan sihirnya. Ya, sosial media memiliki peran yang integral dalam mengkonstruksikan pemikiran masyarakat luas tentang gaya hidup makan cantik.
Specifically, sosial media mempunyai kekuatan untuk membantu seseorang merepresentasikan gaya hidup dan citra masyarakat kelas atas. Hari gini, pertanyaannya sudah bukan “Apa yang dia makan?”, “Kapan dia memakannya?”, dan “Di mana dia memakannya?” tetapi “Siapa dia?” mengingat bahwa gaya hidup baru di atas jelas-jelas sudah bertransformasi menjadi lambang kelas sosial tertentu.
Gimana, menarik bukan memahami suatu fenomena melalui kacamata sosiologi? Hal-hal yang secara kasat mata terlihat tidak memiliki celah untuk dipertanyakan, nyatanya menyimpan begitu banyak makna. Truly, curiosity can take you to great places. So, continue to learn and you’ll definitely surprise yourself.
Referensi:
WHAT’S NEW JAKARTA. 2020. 20+ BEST FINE DINING RESTAURANTS IN JAKARTA. [online] Available at: https://whatsnewindonesia.com/jakarta/best-fine-dining-restaurants-in-jakarta/ [Accessed 11 October 2021].
Chope. 2021. AMUZ Gourmet Restaurant. [online] Available at: https://www.chope.co/jakarta-restaurants/restaurant/amuz-gourmet-restaurant-scbd [Accessed 15 October 2021].
Andriani, R., 2021. Potret Makan Cantik di Salah Satu Restoran di Four Seasons Hotel Jakarta. [image] Available at: https://www.instagram.com/p/CNH9jnRrhyA/?utm_medium=copy_link [Accessed 15 October 2021].
Baudrillard, J., 1981. Simulacra and Simulation. United State of America: The University of Michigan Press.
Baudrillard, J., 1983. Simulation. Massachusetts: The University of Michigan Press.
Chope, 2021. Food from Amuz Gourmet Restaurant. [image] Available at: https://www.chope.co/jakarta-restaurants/restaurant/amuz-gourmet-restaurant-scbd [Accessed 15 October 2021].
Fitria, H., 2016. HIPERREALITAS DALAM SOCIAL MEDIA (STUDI KASUS: MAKAN CANTIK DI SENOPATI PADA MASYARAKAT PERKOTAAN). INFORMASI, 45(2), pp.87-100.
Encyclopedia Britannica. n.d. Jean Baudrillard. [online] Available at: https://www.britannica.com/biography/Jean-Baudrillard [Accessed 11 October 2021].