Bahaya Kebiasaan Self Diagnosis yang Penting Diketahui
Artikel ini akan membahas tentang apa itu self diagnosis, bahaya dari self diagnosis, dan bagaimana self diagnosis bisa terjadi.
—
Persoalan tentang masalah kesehatan mental mulai menarik perhatian publik semenjak pemutaran film Joker bulan Oktober 2019 lalu. Lewat film tersebut kamu akan disuguhkan dengan konflik sosial mulai dari masalah kesehatan mental hingga konflik politik yang ditampilkan secara nyata.
Baca juga: 9 Macam Gangguan Mental, Joker Termasuk yang Mana?
Film ini mengisahkan perjalanan Arthur Fleck, seorang lelaki pengidap gangguan mental asal Gotham City yang bekerja sebagai badut. Dia merasa senang dengan pekerjaannya tersebut. Namun dibalik itu semua, dia sering mendapat perlakuan yang tak sebanding hingga pada akhirnya membuat dia menjadi depresi. Dari situlah, Arthur Fleck pun berubah dalam karakter bernama Joker, seorang yang berkarakter psikopat yang menganggap kekacauan sebagai sebuah humor.
Tokoh Arthur Fleck di film Joker (Sumber: Line today)
Hanya dengan menonton film Joker, banyak kalangan yang menganggap dirinya terkena gangguan kesehatan mental. Padahal yang mereka lakukan itu hanyalah self diagnosis atau mendiagnosis diri sendiri. Lalu sebenarnya apa sih self diagnosis itu? Simak artikel ini sampai habis yaa!
Apa Itu Self diagnosis?
Self diagnosis adalah tindakan mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang didapat secara mandiri. Secara umum, tindakan ini kurang tepat jika dilakukan. Mengapa begitu? Karena seringkali orang-orang mendiagnosis dirinya memiliki gangguan hanya karena mengacu pada fakta-fakta di internet yang sumbernya tidak kredibel. Kamu akan mencocokan gejala yang dirasakan dengan sumber tersebut, dan pada akhirnya akan membuat kesimpulan sendiri yang belum tentu benar.
Mendiagnosis diri sendiri berbekal informasi dari internet (Sumber: Local love)
Oleh karena itu, informasi yang bersumber dari internet tidak dapat kamu jadikan acuan mendiagnosis diri sendiri, sebelum kamu menemui tenaga ahli dalam bidang tersebut seperti dokter, psikiater, maupun psikolog. Nah, hal tersebut berbeda jika kamu melakukan konsultasi dengan tenaga ahli, mereka akan melakukan serangkaian tes dan uji secara ilmiah sebelum akhirnya mendiagnosis gangguan apa yang kamu idap.
Konsultasi dengan tenaga ahli (Sumber: vectorstock.com)
Menurut psikolog Rajnish Mago dari India dikutip dari ITS News, internet bukanlah alat yang tepat untuk dijadikan self diagnosis. Internet lebih tepat digunakan sebagai alat untuk menambah pengertian mengenai gangguan atau penyakit tersebut. Jadi, jangan dulu melabel kamu terkena gangguan kalau belum didiagnosis gangguan tersebut ya.
Baca Juga: Jangan Samakan, Ini Perbedaan Psikolog dan Psikiater
Seperti Apa Bahaya Self Diagnosis?
Sebagai contoh, misalnya kamu merasa cemas dan panik saat berada dalam situasi normal. Nah, berdasarkan informasi yang diperoleh dari internet tanda-tanda kecemasan akan mengarah pada gangguan anxiety disorder. Padahal kemungkinan, kamu menderita aritmia jantung atau gangguan irama jantung. Kedua gejala tersebut memang terlihat sama, namun dari segi penanganan sangatlah berbeda.
Seseorang akan cenderung melakukan perawatan sendiri saat melakukan self diagnosis. Misalnya, mereka akan mengonsumsi obat-obatan yang tidak sesuai dengan gangguan tersebut. Tanpa adanya resep dan anjuran dari dokter, hal tersebut sangat berbahaya bagi kita karena dapat menimbulkan efek kecanduan.
Bagaimana Self Diagnosis Bisa Terjadi?
Mudahnya memperoleh informasi dari internet menjadi salah satu terjadinya self diagnosis. Kamu bisa mengakses berbagai hal termasuk masalah kesehatan melalui internet. Sehingga apabila kamu merasa ada hal yang kurang tepat terjadi pada dirimu misalnya masalah kesehatan, langkah awal yang akan kamu lakukan adalah mencari informasi tentang hal tersebut di mesin pencari (Google). Beragam informasi itulah yang akan menyebabkan kamu melakukan self diagnosis.
Cari tahu informasi apapun melalui Google (Sumber: Google Assistant)
Selain itu, kurangnya tenaga ahli seperti dokter, psikiater dan psikolog klinis di Indonesia juga menjadi penyebab terjadinya self diagnosis. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), sebagai negara berkembang pada tahun 2018 Indonesia hanya memiliki 4,27 dokter untuk 10.000 populasi. Jumlah dokter tersebut sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya.
Data jumlah dokter di Indonesia dan Thailand (Sumber: WHO)
Sedangkan, untuk saat ini mengutip data dari Ikatan Psikologis Klinis Indonesia, jumlah psikologis klinis sebanyak 2.712 orang yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah tersebut masih sangat sedikit mengingat penduduk Indonesia yang mencapai 400 ribu jiwa. Tidak hanya masalah jumlah tenaga ahli, mahalnya biaya untuk berobat juga membuat mereka enggan untuk melakukan konsultasi ke tenaga ahli.
Baca juga: Kenapa Jurusan Psikologi Selalu Ramai Peminat? Belajar Apa sih?
Lebih parahnya, terdapat stigma masyarakat yang menganggap jika pergi ke psikolog atau psikiater itu adalah orang gila. Padahal stigma tersebut salah banget. Mencoba berkonsultasi dengan orang yang profesional akan membantu kamu untuk tidak melakukan self diagnosis lho.
—
Seperti itulah kira-kira gambaran mengenai self diagnosis. Ternyata jika kamu melakukan self diagnosis, maka bisa membuat kamu mengabaikan gejala lain yang sebenarnya belum kamu lihat. Semoga dengan membaca tulisan ini kamu nggak lagi salah kaprah tentang self diagnosis. Ingat ya beda gejala gangguan beda penanganannya lho!
Nah, jika kamu merasa kesulitan memahami pelajaran, kamu bisa lho belajar bersama guru privat sesuai kebutuhan dan kriteria kamu di Ruangguru Privat! Apalagi, pengajar di Ruangguru Privat sudah terstandarisasi kulaitasnya. amu juga bisa pilih nih, mau diajarkan secara langsung (offline) atau daring (online). Fleksibel, kan? Temukan pengalaman belajar yang lebih efektif sesuai kebutuhanmu!