Kenapa Orang Tua Perlu Membiarkan Anak Bermain?
Apakah membiarkan anak bermain adalah pilihan yang tepat? Atau sebaiknya orang tua melarang anak bermain? Manakah yang lebih tepat? Simak penjelasannya di artikel ini.
—
Apakah Anda pernah mendengar tentang homo ludens? Sebelum kita masuk ke pembahasan mengapa orang tua harus membiarkan anak bermain, mula-mula kita pahami terlebih dahulu bahwa manusia, mendapat predikat sebagai homo ludens.
Apa itu homo ludens? Homo ludens merupakan sebuah fenomena budaya yang memahami manusia sebagai pemain yang suka memainkan permainan. Berdasarkan fenomenanya, setiap kebudayaan selalu memperlihatkan karakter manusia sebagai pemain. Mulai dari anak-anak, sampai orang dewasa selalu menunjukkan ketertarikannya pada sebuah permainan.
Mengapa permainan selalu menarik bagi manusia? Seorang sejarawan asal Belanda, Johan Huizinga pernah menulis sebuah buku yang menceritakan bahwa elemen-elemen di dalam permainan, bahkan menyusup ke dalam sendi-sendi peradaban. Nah, di dalam bukunya tersebut, Huizinga menuliskan 5 definisi dan aturan dalam permainan.
Pertama, permainan cenderung mendorong kebebasan. Kedua, permainan berada di luar kehidupan. Ketiga, permainan memiliki aturan ruang dan waktunya sendiri. Keempat, permainan menciptakan keteraturan. Kelima, permainan tidak memiliki motif material.
Begitulah kiranya mengapa manusia tidak pernah lepas dari ketertarikannya pada sebuah permainan. Lalu, apakah membiarkan anak bermain sejak dini adalah pilihan yang tepat dalam perkembangannya? Mari kita bahas.
Mungkin banyak di antara Anda yang sering merasa khawatir ketika anak sedang bermain. Ada yang takut anaknya jadi tidak suka belajar, ada yang takut anaknya menjadi pemalas, dan berbagai macam alasan lainnya.
Untuk menjawab kekhawatiran orang tua, Jared Daimond dalam bukunya yang berjudul “The World until Yesterday: What Can We Learn from Traditional Societies”, menulis dan menjelaskan bahwa bermain akan membuat anak belajar. Permainan justru memiliki peluang meningkatkan berbagai kapasitas dan potensi yang ada di dalam dirinya.
Selain itu, permainan juga menjadi stimulus bagi seorang anak, dalam membantunya mengembangkan kemampuan otak. Kenapa begitu? Karena mereka bebas melakukan berbagai macam kreasi, mereka berpikir untuk memecahkan masalah, dan mereka melakukan interaksi sosial dengan teman-temannya. Anak-anak selalu bersenang-senang ketika bermain, dan permainan yang baik akan mengembangkan kemampuan kognitifnya.
Bukan hanya itu, bermain juga mampu meningkatkan keterampilan motorik anak, kemampuannya dalam bergaul, berkomunikasi, bahkan secara tidak langsung ia akan menemukan bakatnya sendiri.
Seorang filsuf, guru, atau kerap disebut sebagai Bapak Pendidikan Modern asal Ceko yang bernama John Amos Comenius, menjelaskan kalau aktivitas bermain tidak boleh dihilangkan. Karena itu adalah proses terpenting dalam pembelajaran seorang anak. Anak akan mendapatkan pengalaman langsung dari permainan yang ia mainkan. Seperti lima hal yang dijelaskan dalam buku tulisan Huizinga tadi, permainan mendorong kebebasan. Sehingga, bakat dan kreativitas anak akan berkembang dengan pesat.
Kecerdasan anak itu tidak terbatas jika kita membiarkannya berkembang. Apakah Anda ingat, ketika anak Anda berada di usia 3 sampai 7 tahun, atau bahkan lebih, mereka sering menjadikan suatu barang yang ada di dekatnya menjadi permainan. Misalnya, tempat pensil dijadikan kereta-keretaan, kursi ia duduki kemudian berakting seperti sedang menyetir sebuah mobil, dan banyak hal lainnya.
Baca juga: Mengenal Slow Education dan Slow Parenting untuk Anak Usia Dini
John Santrock, psikolog pendidikan menerangkan tentang sebelas cara anak saat mulai bermain.
- Sensorimotor, yaitu bermain dengan penginderaan dan anggota badan,
- Bermain fungsional, yaitu saat anggota tubuh menjadi objek bermain,
- Bermain pengamatan, pada cara ini anak bermain dengan mengamati anak lainnya ketidak bermain. Dengan begitu, ia memiliki kepuasan pribadi,
- Bermain pasif, yaitu saat gerakan aktif anak tidak diperlihatkan dalam aktivitas. Contohnya ketika ia mendengarkan musik atau menonton acara TV yang ia suka,
- Bermain aktif, saat anak bermain dengan keaktifan anggota tubuhnya,
- Bermain soliter, ketika anak tidak membutuhkan teman bermain,
- Bermain paralel, ketika tidak ada interaksi antara anak yang satu dengan yang lainnya dalam aktivitas bermain, meskipun mereka sedang duduk berdampingan,
- Bermain sosial, saat anak bermain bersama temannya, kemudian melakukan interaksi dan sosialisasi,
- Bermain kooperatif, yaitu saat anak bermain secara berkelompok, bersama teman dengan peran dan tugasnya masing-masing,
- Bermain peran, pada topik-topik tertentu, anak bermain dengan memerankan berbagai profesi, bahkan benda. Nah pada saat ini lah terjadi komunikasi, mereka akan berbicara melebihi kemampuannya dalam menggambarkan situasi dan kondisi yang sebenarnya,
- Bermain simboli, yaitu ketika anak menangkap simbol sebagai pesan dalam bermain.
Nah, kira-kira permainan apa ya yang paling tepat untuk anak?
Setelah saya membaca sebuah jurnal penelitian berjudul “Peran Bermain Bagi Perkembangan Kognitif dan Sosial Anak”, pada kesimpulannya, penelitian Sance Mariana Tamaeon di TK Abdi Kasih Bangsa Kupang, mendapat kesimpulan bahwa anak-anak sangat menyukai permainan fungsional, konstruktif, dan bermain dengan mainan.
Kenapa fungsional? Karena permainan-permainan yang membuat mereka melompat, menendang, berkejaran, sangat menggembirakan bagi mereka. Selain itu, poin positifnya, motorik anak jadi lebih berkembang.
Kemudian permainan konstruktif. Permainan konstruktif sangat baik untuk perkembangan imajinasi, kreativitas, dan juga kognisi. Contohnya itu seperti permainan menyusun lego, membuat mainan dengan kertas origami, membuat menara dari pasir, dan lain sebagainya.
Nah, jadi kita bisa simpulan bersama bahwa bermain merupakan hak anak yang harus terus diberikan. Tentunya peran orang tua di sini sangat penting dalam mendampingi, serta memilihkan media permainan yang berdampak positif pada tumbuh kembang anak.
Aplikasi Ruangguru juga memiliki konsep belajar sambil bermain. Dengan fitur avatar yang bisa diubah-ubah dengan menukarkan koin hasil belajarnya, anak akan semakin semangat dalam belajar, demi membuat avatarnya sebagus mungkin. Maka dari itu, yuk langganan ruangbelajar, buat belajar jadi lebih menyenangkan.
Referensi:
Daimond, J. (2015). The World Until Yesterday: What Can We Learn from Traditional Societies . Jakarta: Gramedia.
Santrock, R.E. (2011). Psikologi Pendidikan, Indeks dan Praktek. Jakarta: PT Indeks.
Sumber Foto:
Cottonbro. [Online]. Available at: https://www.pexels.com/id-id/foto/cinta-kasih-rasa-sayang-wanita-3662667/ (Accessed: 22 Oktober 2020)