Confirmation Bias: Penjelasan Ilmu Cocoklogi dalam Sains
Artikel ini menjelaskan tentang penemuan ilmu cocoklogi dalam sains yang bernama fenomena confirmation bias, sekaligus menjelaskan cara kerja otak manusia.
—
Apa yang ada di pikiran kamu ketika melihat gambar awan di atas? Teksturnya yang selembut kapas? Atau bentuknya yang mirip segitiga dan mengingatkan kamu akan lambang… illuminati? Hmmm.
Tunggu, jangan salah paham dulu. Kita semua bisa berprasangka tentang pikiran-pikiran orang terhadap satu hal. Tapi, kita tidak bisa menyalahkan pikiran yang muncul di otak kita.
Kok gitu?
Ya karena semua yang kita pikirkan, akan melewati suatu proses berpikir. Sejatinya, pikiran kita disusun oleh rangkaian komunikasi sel neuron. Misalnya, kita tiduran di lapangan terbuka lalu memandang langit. Kamu melihat awan, lalu otak kamu berpikir empuknya awan tersebut karena otak kamu punya informasi “bentuk awan seperti kapas, kapas kalau dipegang empuk”. Di saat yang bersamaan, kamu bisa saja berpikir tentang bentuk awan yang menyerupai benda-benda.
Ketika melihat awan berbentuk bulat, misalnya. Seorang pebasket bisa aja langsung kepikiran bentuk bola basket oranye kusam yang tergeletak di bawah kasurnya. Bola pertamanya saat latihan dulu. Di sisi lain, seorang koki bisa saja memaknai bentuk itu sebagai bakso yang pernah ia suguhkan kepada salah satu selebriti di restorannya.
Satu bentuk yang sama, bisa punya banyak makna.
Jadi, ketika kita dihadapkan pada suatu hal, sebenarnya otak kita sedang berpikir beberapa hal sekaligus. Semua informasi yang berkaitan dengan pengalaman kita di masa lalu tentang hal itu akan memengaruhi orientasi kamu pada suatu hal. Itu lah kenapa kita tidak mungkin punya pikiran terhadap apa yang kita belum tahu (tidak punya informasinya di otak).
Misal ada orang ngomongin, ‘Gimana, nih IHSG lagi jatoh. Rugi deh.’ dan otak kita tidak punya pengalaman/informasi tentang “IHSG”, maka kemungkinan besar kita tidak akan nyambung. Bisa-bisa, pas ngomongin IHSG turun, akan disahutin, ‘Oh iya? Jatuh gara-gara kepleset ya?”
Dan kamu akan dihapus dari pertemanan untuk selamanya.
Sekarang, mari kita coba contoh lain: segitiga. Ketika melihat suatu gedung berbentuk segitiga, otak seseorang bisa saja meresponnya dengan mengeluarkan informasi tentang simbol iluminati. Hal ini tidak bisa disalahkan karena, seperti yang kita tahu, otak hanya mengambil informasi dari pengalaman-pengalaman yang sudah kita miliki (informasinya sudah ada di otak sebelumnya). Namun, kita juga tidak bisa begitu saja membenarkan makna yang dikeluarkan dari otak. Ya jelas, karena bentuk tidak punya pengertian yang riil. Bentuk dan visual, hanya dapat diartikan sebagai simbol.
Baca juga: Minat Baca Orang Indonesia Rendah. Masa Sih?
Lalu, pertanyaan yang timbul menjadi seperti ini: kenapa sebuah bentuk bisa mengingatkan kita pada suatu hal?
Jawabannya, confirmation bias.
Pernah ngerasa nggak ketika lagi putus cinta, tiba-tiba di sekitar kita ada banyak banget benda atau sesuatu yang mengingatkan kita sama mantan? Hal ini disebut dengan frequency illusion. Otak kita memang secara pasif dan tanpa sadar mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kita, yang sedang kita percayai.
Confirmation bias itu kurang lebih kayak gitu, tapi versi aktifnya.
Otak kita cenderung secara aktif mencari informasi segala sesuatu yang kita percayai. Misalnya, kita percaya bahwa magrib adalah waktu setan pada keluar buat nyulik anak bocah, meskipun peneliti masih gak percaya akan keberadaan hantu. Confirmation bias ini membuat otak kita menghubungkan kepercayaan kita, menggerakkan badan kita dan mencari-cari informasi yang mendukung kepercayaan itu. Meskipun informasi yang kita dapatkan belum tentu benar.
Jadi, ketika seseorang memang sudah percaya bahwa bentuk segitiga adalah iluminati, bisa saja, karena confirmation bias ini, dia jadi mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaannya. Hanya semata-mata agar kepercayaannya menjadi benar.
Contoh paling gampang dari confirmation bias adalah musik. Setiap dari kita pasti pernah mengalami hal ini: kamu suka terhadap satu musisi, lalu ketika si musisi mengubah style bermusiknya, kita langsung benci setengah mati.
Hal ini terjadi karena kita punya bias terhadap musisi. Kita sudah menganggap si musisi A seharusnya memainkan musik seperti ini, dan itu enak. Maka, ketika musisi A mengeluarkan gaya bermusik baru yang lain dari biasanya, kita merasa itu adalah hal yang salah dan aneh.
Padahal, ya itu nggak salah.
Selain hal kecil seperti musik, banyak yang terkena dampak confirmation bias sampai berlebihan, lho.
Kalau kamu berjalan-jalan di London pada jam sibuk, misalnya. Kamu akan menemukan orang-orang di sudut jalan yang meneriakkan tentang datangnya hari kiamat. Mereka, seperti para peramal, akan mengingatkan masyarakat tentang bahaya hari kiamat di satu hari.
Dan ketika ramalannya gagal, ia akan kembali di hari yang lain.
Dulu, peristiwa seperti ini ramai diperbincangkan. Semua peramal kompak menyatakan bahwa tahun 2012 adalah hari akhir bagi bumi kita. Mereka menyodorkan bukti-bukti bahwa “tanda-tanda kiamat” sudah jelas di depan mata dan, setelah tahun 2012, tidak ada lagi kehidupan di muka bumi.
Dalam tulisannya di Prophecy Falls, Leon Festinger menjelaskan fenomena ini: bahwa apa yang kita percaya di lubuk hati terdalam, lama-kelamaan akan membentuk sebuah komitmen, yang pada akhirnya, menggerakkan kita untuk berbuat sesuatu.
Mirip apa? Betul, teorema cocoklogi.
Lalu, apa akibatnya jika seseorang sudah menganggap kepercayaannya sebagai sebuah kebenaran, eh ternyata salah?
Kata Festinger, orang ini justru akan semakin ganas memercayainya. Ia akan semakin gencar membuat orang lain sepakat dan punya keyakinan yang sama dengannya.
Bahayanya, confirmation bias ini juga bisa sampai ke tahap para peneliti. Ya, seperti yang sudah dijelaskan di awal, confirmation bias secara alami ada di semua orang. Bukan tidak mungkin data-data dan hasil statistik yang ada, hanya kita pilih berdasarkan confirmation bias yang kita yakini, bukan sebaliknya—menjadi patokan untuk menentukan keputusan yang kita buat.
Sumber: Above The Noise via Youtube
Ketika diteliti secara science, hal ini bisa terjadi karena pada saat itu, dorsolateral prefrontal cortex, bagian otak yang yang bertanggung jawab terhadap kerja “sebab-akibat” tidak berfungsi. Sebaliknya, orbitofrontal cortex, bagian yang bertanggungjawab terhadap emosi kita bekerja dengan aktif. Ini mengindikasikan bahwa orang yang melakukan confirmation bias cenderung lebih mengandalkan emosi dan perasaannya ketimbang logika.
Contoh: untuk seseorang yang menganggap segitiga adalah iluminati yang ingin menguasai dunia, maka ia mencari data dan statistik mengenai kemungkinan hal itu. Mencari data tentang negara-negara asal iluminati dan kaitannya dengan segitiga. Mencari fakta bahwa negara tersebut pernah punya ambisi menguasai dunia. Semua ini dilakukan dengan mengesampingkan fakta-fakta lain yang membantahnya,
Seram, kan?
Padahal, bagi seorang peneliti, data itu seharusnya digunakan sebagai hipotesis. Bukan penunjang dari hasil yang memang kita percaya sebelumnya.
Gimana, Squad. Sekarang sudah tahu, kan, bagaimana seseorang, secara tidak sadar, memang merupakan makhluk yang tidak objektif. Kita selalu mencari informasi yang kita anggap benar dan suka melakukan ilmu cocoklogi. Kalau kamu menganggap pendidikan adalah hal yang benar-benar penting, coba aja daftar diri kamu di ruangbelajar untuk bisa menonton video pembelajaran, lengkap dengan animasi dan latihan soal.