Sejarah Revolusi Industri 4.0 dan Apa itu Era Society 5.0?
Artikel ini membahas perjalanan Revolusi Industri mulai dari 1.0 sampai revolusi industri 4.0 dan apa yang perlu kita lakukan agar bisa survive di masa depan.
—
Saya yakin kamu yang baca ini udah gak asing sama frasa “Revolusi Industri 4.0”. Kayaknya, kata-kata itu jadi terlalu sering dipakai dan mulai overused. Bikin acara yang nunjukin teknologi dan masa depan dikit, langsung makai jargon “Revolusi Industri 4.0”.
Sayangnya, kata-kata ini seringkali cuma jadi hiasan untuk menunjukkan bahwa ada “teknologi” yang dibahas di sana. Padahal, Revolusi Industri 4.0 bisa jadi ajang refleksi kita. Supaya kita bisa membayangkan apa yang ada di masa depan.
Gini deh. Biar nggak salah kaprah, sekarang kita coba bahas urut aja ya. Karena, saya akan kasih bocoran sedikit: di akhir tulisan ini, kita akan membahas society 5.0
Revolusi Industri 1.0
Sebetulnya, pembahasan soal Revolusi Industri sendiri ini sudah dibahas secara terpisah dan masuk ke kurikulum sejarah kelas 11. Lengkap, tuh, ngomongin penyebab terjadinya revolusi di Inggris, sampai bagaimana dia bisa menyebar. Biar afdol, baca aja di artikel ini.
But it’s okay.
Saya akan cerita pelan-pelan. Supaya kelas berapa pun kamu bisa mengerti tentang si revolusi industri ini.
Pada mulanya, revolusi industri 1.0 terjadi di abad ke-18. Di masa ini, semua tenaga sumbernya kalau nggak dari otot, air, ya, angin.
Bayangkan kamu ada di masa itu.
Ini cuma contoh aja ya supaya kamu kebayang. Kalau kamu mau jualan es krim, misalnya, paling masuk akal, semua mesin dan sebagainya, sampai jadi produk bernama “es krim” yang bisa dijual, dibuat menggunakan tenaga otot dong?
Nah, kocok, kocok, tuh susu pakai garem sampe jadi es.
Lebih ke hulu sedikit, mesin-mesin di pertanian digerakin pakai sapi. Ckckck. Bayangin kalau sapi-nya moody-an. Apa nggak repot itu??
Mandor: “Pi, ayo jalan! Bantu giling ini gabah!”
Sapi: “Mooooo~” (Artinya: Bentar, ngop duls secangkir)
Kebayang dong gimana ribet, lama, dan nggak efektifnya proses produksi di masa itu? Untuk membuat produk yang banyak, kita jadi butuh sumber daya manusia yang banyak (dan kuat) juga.
Sampai James Watt menemukan mesin uap.
Dunia auto heboh. Pelajar di Korea, denger-denger, langsung ngejadiin James Watt sebagai bias-nya. Photocard-nya James Watt dijual di pasar-pasar (Ga gitu woy!).
Beam engine buatan James Watt
Apa yang bikin heboh? Jelas. Yang tadinya segala hal harus dikerjain pakai otot, atau kincir, sekarang bisa pakai mesin. Pengaruhnya apa? Produktivitas meningkat pesat. Ekonomi melonjak. Masyarakat jadi bisa memproduksi tanpa butuh lahan yang luas (karena di masa itu yang bisa bikin pabrik ya orang-orang tajir atau keturunan kerajaan gitu).
Revolusi Industri 2.0
Akhir 1800-an, industri mobil lagi seru-serunya. Produksi besar-besaran terjadi.
Masalahnya cuma satu: bikinnya repot.
Kenapa? Karena pada saat itu, proses pembuatan mobil, dari awal, sampai jadi utuh, harus dilakukan di satu tempat. Mulai dari pembuatan body, pemasangan mesin, interior, dan segala macam, harus dilakukan di tempat yang sama.
Gak cuma itu aja. Metodenya pun masih konvensional. Semua perakitan dikerjain secara paralel. Artinya, setiap pekerja harus jadi generalis. Dia harus mampu masang mesin, ngerakit chasis, ngobeng spion, nyongkel kaca, sampai benaran jadi satu mobil utuh yang bisa dikendarai.
Iya, setiap orang harus bisa membuat mobil dari nol, sampai jadi.
Imbasnya? Sumberdaya manusia yang dibutuhkan banyak, proses pembuatannya lama. Pemilik pabrik pun kesulitan karena harus memberikan pelatihan tentang banyak hal ke setiap pekerja.
Baca juga: Cara Mempelajari Hal Baru dengan Unlearn, Learn, dan Relearn
Nah, revolusi industri 2.0 terjadi ketika ada yang namanya assembly line.
Assembly line mengubah proses produksi dari yang satu satu paralel gitu, menjadi seri. Sistemnya pakai conveyor belt. Itu lho, kalo di kasir swalayan, kan, suka ada yang mejanya punya semacam lapisan yang bisa jalan otomatis gitu.
Kalau kamu liat video pabrik-pabrik yang produknya jalan, nah, tatakannya itu yang disebut conveyor belt.
Ini super mempengaruhi proses produksinya.
Karena dibuat seri, para pekerja menjadi spesialis. Mereka tidak lagi harus mampu membuat semuanya. Alih-alih, mereka mengurus setiap bidang masing-masing. Ada yang “nongkrong” di pos pemasangan mesin, misalnya. Ada yang di pos pengecatan, dan lain-lain. Sementara mobil atau produk lainnya yang jalan di tatakan nyamperin dia. Si pekerja pun gak perlu tahu dari A sampai Z tentang mobil, dan training karyawan jadi lebih spesialis. Mereka jadi lebih jago di bidangnya masing-masing.
Konsep ini efektif banget. Ford yang pada tahun 1912 cuma bisa memproduksi sebanyak 68 ribu mobil, pada 1925 bisa sampai 2 juta berkat ini.
Revolusi Industri 3.0
Ini gak perlu kita bahas panjang ya. Biar ngomongin Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 lebih banyak dan seru. Pada intinya, sih, revolusi 3.0 ini terjadi ketika zaman analog berubah menjadi digital.
Penemuan komputer yang memulai awal revolusi 3.0
Di masa itu, negara-negara besar kayak Amerika mulai menggeser ekonominya dari yang semula di industri, menjadi ekonomi informasi.
Revolusi Industri 4.0
Revolusi industri 4.0 ini menekankan pada digitalisasi. Jadi, segala hal yang berkaitan dengan produksi bisa lebih efektif. Segala hal yang kita lakukan sekarang, ya, masuknya di masa ini. Bagaimana kita memanfaatkan google drive dan teman-temannya sebagai “mesin” untuk menyimpan data di cloud. Teknologi yang memanfaatkan big data, seperti yang dipakai oleh Gojek, Tokopedia, dan lainnya. Pun dengan Tesla, yang berhasil mengembangkan mobil tanpa awak, yang bisa mengantar penumpangnya dengan otomatis. Penemuan printer 3 dimensi yang bisa membuat berbagai macam barang juga mengubah banyak hal di dunia industri.
Sederhananya, revolusi industri 4.0 ini, dunia kita diselimuti teknologi.
Menariknya, hal ini memicu perdebatan.
Apakah segala hal yang ditambah teknologi akan menguntungkan buat kita? Atau… ternyata nggak juga?
Makanya, dua tahun lalu, di Jepang, ada gagasan yang bernama society 5.0.
Sebuah sikap yang menjelaskan bahwa jika kita terlalu mengedepankan teknologi, tanpa memikirkan sisi manusia, dampaknya bisa bahaya. Society 5.0 adalah konsep di mana masyarakat kita–orang Jepang itu–harus memanusiakan manusia dengan teknologi.
Shinzo Abe, mantan Perdana Menteri Jepang
Kata Shinzo Abe di World Economic Forum, kurang lebih kayak gini, “Society 5.0 itu bukan cuma model. Tetapi data yang menghubungkan semuanya. Ia membantu gap antara yang kaya dan yang kurang. Dari kedokteran sampai pendidikan.”
Ada contoh bagaimana kita memanfaatkan teknologi di bidang kesehatan. Jadi, orang yang tadinya sulit mendapat akses kesehatan (entah karena jauh dari rumah sakit atau sulit secara finansial) bisa mendapat bantuan. Iya, pengobatan kayak operasi bisa dilakukan jarak jauh demi meratakan kesehatan setiap orang.
Udah kayak di film-film scifi gak sih?
Yah, emang, sih, kalau dilihat dari jauh, nggak ada perbedaan yang nyata antara Revolusi Industri 4.0 dengan society 5.0 ini. Si society 5.0 ini lebih mengarahkan bagaimana kita menggunakan teknologi itu sendiri. Apa kepentingannya. Landasan kita menciptakan ini dan itu, dan seperti apa kita bisa memanfaatkan dan hidup berdampingan dengan teknologi itu sendiri.
Baca juga: Apa sih Dampak Teknologi Terhadap Kebiasaan Belajar Kita?
Sederhananya, kalau revolusi industri 4.0 ini membuat manusia jadi lebih modern karena memiliki akses terhadap teknologi, society 5.0 adalah masa di mana teknologi-teknologi ini menjadi bagian dari manusia. Well, memang terkesan too good to be true, tapi namanya juga niat yha.
Tetapi, paling tidak, dari sini kita jadi terbayang, seperti apa, sih, gambaran besar kehidupan di masa depan?
Apa yang bisa kita lakukan untuk bisa survive di masa itu.
Dari weforum.org, ada tiga kemampuan yang dibutuhkan di masa depan: 1) kemampuan kognitif, 2) softskill, 3) teknologi.
Yang dimaksud dengan kognitif di sini bukan berarti “nilai sekolah kamu harus bagus” atau “IPK kamu tinggi” ya. Tetapi, kamu harus bisa memecahkan masalah yang kompleks. Punya kemampuan memahami sesuatu (literasi), dan berpikir kritis. Sementara softskill adalah bagaimana kamu bisa berkomunikasi, berempati, punya growth mindset, dan adaptif.
Dengan pendidikan yang sekarang, mungkin sedikit susah untuk mengukurnya. Karena memecahkan masalah kompleks itu masuk ke High Order Thinking Skill (HOTS) yang baru-baru ini dicoba. So, mulai, deh, geser cara pandang kamu bahwa orang pintar sama dengan nilainya bagus. Alih-alih, mereka yang pintar adalah mereka yang punya kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah kompleks.
Ini bukan berarti nilai di sekolah itu nggak penting ya. Apalagi kamu menggunakannya buat protes ke orangtua atau menjelekkan mereka yang nilai sekolahnya bagus. No. Kalau itu yang kamu tangkap, artinya, ya, kamu belum bisa memahami tulisan ini dengan baik. :p
Pertanyaan selanjutnya adalah: apakah hal-hal ini bisa dilatih?
Jawaban: bisa.
Ada banyak cara yang bisa kamu lakukan untuk meningkatkan skill tersebut. Cara paling sederhana adalah dengan menumbuhkan rasa penasaran dan membuka kemungkinan bahwa kita bisa salah.
Itu adalah akar dan pondasi untuk kamu punya kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kalau kamu tertarik tentang bahasan ini, coba tulis di komen deh. Kemampuan apa, sih, yang pengin kamu pelajarin. Siapa tahu bakalan kita buat di tulisan selanjutnya. Berhubung ini udah terlalu panjang, kita akhiri dulu ya pembahasan tentang Revolusi Industri 4.0 ini. Again, jangan lupa, kalau kamu pengin paham konsep pelajaran yang ada di sekolah, ruangbelajar kamu bakal nemuin video-video yang bikin kamu mengerti konsepnya!
Referensi:
Jezard, Adam. 2018. The 3 Skills Set for The Workers in 2030. [daring] Tautan: https://www.weforum.org/agenda/2018/06/the-3-skill-sets-workers-need-to-develop-between-now-and-2030/ (Diakses pada: 30 Desember 2019)
Puspita, Y, Yessi, F, dkk. 2020. Selamat Tinggal Revolusi Industri 4.0, Selamat Datang Revolusi Industri 5.0. Proceeding Seminar Nasional Pendidikan Program Pascasarjana Universitas PGRI Palembang.
Sumber foto:
Foto ‘James Watt’ [daring] Tautan: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/1/15/Watt_James_von_Breda.jpg (Diakses pada 30 Desember 2020)
Foto ‘Beam engine buatan James Watt’ [daring] Tautan: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/9e/Maquina_vapor_Watt_ETSIIM.jpg (diakses pada 30 Desember 2020)
Foto ‘Shinzo Abe, mantan Perdana Menteri Jepang’ [daring] Tautan: https://tirto.id/penyebab-shinzo-abe-mundur-dari-perdana-menteri-jepang-f18l (diakses pada 30 Desember 2020)
GIF ‘Roller Coaster’ [Daring]. Tautan: https://giphy.com/gifs/7XoOjhEAiSwIItCo3P