Perang Padri: Latar Belakang, Kronologi, Tokoh & Dampaknya | Sejarah Kelas 11
Artikel Sejarah kelas 11 ini membahas sejarah Perang Padri secara lengkap dan kronologis, mulai dari tokoh, penyebab, hingga dampaknya.
—
Pernahkah kamu membaca atau mendengar sejarah Perang Padri atau Paderi? Buat yang belum tahu, Perang Padri adalah salah satu perang yang terjadi paling lama di Indonesia, mulai dari tahun 1803—1838. Ya, walaupun, sempat ada gencatan senjata di tengah peperangan ini sih.
Sejarah Perang Padri menarik banget buat dikuliti, loh! Dalam kronologi perang ini, kita bisa melihat kawan yang jadi lawan, yang harusnya jadi musuh malah jadi sekutu, dan yang tadinya lawan memilih bersatu untuk menyerang musuh.
Sekilas alurnya mirip cerita-cerita di drama televisi, ya? Lantas, apakah sejarah Perang Padri benar-benar seruwet cerita drama televisi? Yuk, kita simak latar belakang, tokoh-tokoh, hingga dampak Perang Padri dalam artikel ini!
Latar Belakang Perang Padri
Pertama-tama, kita harus tahu latar belakang Perang Padri terlebih dahulu. Perang Padri dilatarbelakangi oleh pertentangan antara kaum adat dan kaum padri. Perang Padri terjadi di Sumatra Barat tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung.
Kaum adat meliputi bangsawan dan masyarakat adat di Minangkabau yang masih memegang teguh adat istiadat dari leluhur mereka.
Sementara, kaum Padri terdiri atas ulama-ulama dan umat muslim yang ingin menerapkan syariat Islam dengan benar di Minangkabau. Mereka inilah lawan yang akhirnya jadi kawan dalam alur cerita sejarah Perang Padri.
Secara garis besar, Perang Padri dibagi ke dalam tiga masa. Pertama, berlangsung antara 1821–1825, yang ditandai dengan meluasnya perlawanan rakyat ke seluruh daerah Minangkabau.
Kedua, antara tahun 1825–1830, yang ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan gerakan kaum Padri yang mulai melemah.
Ketiga, antara tahun 1830–1838, ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran.
Awal Perang Padri
Penyebab Perang Padri adalah pertentangan antara dua kaum di lingkup masyarakat Minangkabau pada tahun 1803.
Pada waktu itu, ada tiga orang yang baru pulang dari Makkah, yakni Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Mereka menyampaikan keinginannya untuk memperbaiki penerapan syariat Islam di kehidupan masyarakat Minangkabau.
Kala itu, masyarakat Minangkabau memang masih melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti judi, sabung ayam, dan minum minuman keras.
Keinginan tiga orang itu disambut baik oleh para ulama, tetapi ditolak oleh masyarakat adat. Mereka pun terbagi menjadi dua kubu yang disebut kaum padri dan kaum adat.
Kaum padri kukuh meminta kaum adat yang beragama Islam untuk tidak menjalankan lagi kebiasaan yang menyimpang dari ajaran Islam. Di sisi lain, kaum adat memandang gerakan kaum padri sebagai ancaman terhadap kelestarian budaya Minangkabau.
Baca Juga: Perlawanan Indonesia terhadap Belanda sampai Awal Abad 20 | Sejarah Kelas 11
Kedua kaum telah beberapa kali merundingkan permasalahan ini. Bahkan, delapan tokoh ulama pelopor gerakan Kaum Padri yang disebut Harimau nan Salapan—Tuanku Barapi, Tuanku Biaro, Tuanku Galuang, Tuanku Kapau, Tuanku Ladang Lawas, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Mansingan, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Padang Luar—telah meminta bantuan kepada Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah, Raja Kerajaan Pagaruyung, untuk mengajak kaum adat meninggalkan kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam itu. Sayangnya, mereka tidak pernah menuai kesepakatan.
Hal itu membuat situasi memanas di antara beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung. Akhirnya, pada tahun 1815, tokoh Perang Padri pertama, yakni Tuanku Pasaman, memimpin kaum padri dalam menyerang Kerajaan Pagaruyung hingga meletuskan peperangan di Koto Tangah.
Akibatnya, Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah pun terpaksa pergi dari ibu kota kerajaan. Sementara itu, kaum adat makin terpukul mundur sejak kepergian pemimpinnya itu.
Keterlibatan Belanda dalam Perang Padri
Dalam kondisi terdesak, pada tahun 1821, kaum adat meminta bantuan kepada pemerintah Kolonial Belanda. Belanda pun nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dong.
Mereka menjadikan pengajuan bantuan ini sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia Belanda.
Selain itu, kaum adat juga menyerahkan daerah Simawang dan Soli Air kepada pasukan Belanda. Momen ini menandakan Belanda yang harusnya jadi musuh malah jadi sekutu bagi kaum adat dalam sejarah Perang Padri.
Padahal, tanpa kaum adat sadari, Belanda sedang melakukan devide et impera atau politik adu domba demi memecah masyarakat di Sumatra Barat saat itu.
Mengetahui perjanjian itu, kaum padri pun menyerang pos-pos Belanda di Simawang, Soli Air, dan Sipanang pada September 1821.
Kaum padri yang dipimpin Tuanku Pasaman cukup sulit dikalahkan. Surat ajakan damai dikirimkan oleh Belanda, tapi dicuekin sama Tuanku Pasaman. Beliau justru semakin menggencarkan perlawanan di berbagai tempat. Gaskeun pokoknya!
Namun, pada 4 Maret 1822, kaum padri digiring keluar dari Pagaruyung oleh pasukan Belanda yang dipimpin Letkol Raaff.
Secara sat-set, Belanda segera membangun benteng pertahanan yang diberi nama Fort van der Capellen di Batusangkar. Di sisi lain, kaum padri pantang menyerah. Mereka menyusun kekuatan dan pertahanan di Lintau.
Benteng Fort van der Capellen di Sumatra Barat (https://min.wikipedia.org/wiki/)
Bentrok antara kaum padri dan Belanda kembali terjadi di Tanjung Alam dan Baso. Pada Juni 1822, kaum padri gagal menghadang Belanda di Tanjung Alam.
Namun, mereka kembali berhasil kok dalam memaksa Belanda mundur ke bentengnya di Batusangkar melalui pertempuran di Baso yang dipimpin Tuanku Nan Renceh pada September 1822.
Oh iya, situasi menendang Belanda kembali ke Batusangkar ini tidak hanya terjadi sekali, ya. Ketika mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Letkol Raaff menyerang Lintau. Tapi, kegigihan kaum padri menggagalkannya.
Gencatan Senjata dalam Perang Padri
Rupanya pada tahun 1825, Belanda tidak hanya terlibat dalam Perang Padri yang terjadi di Sumatra Barat, tetapi juga Perang Diponegoro di Jawa dan perang-perang lain di Eropa.
Hal ini menyebabkan Belanda kewalahan dan hampir kehabisan dana perang. Ditambah lagi, kaum padri pantang menyerah dan cukup tangguh dalam melakukan perlawanan sehingga semakin menyulitkan Belanda.
Kondisi ini menyebabkan Belanda mengajak kaum padri yang diwakilkan Tuanku Imam Bonjol sebagai pimpinannya melakukan gencatan senjata melalui Perjanjian Masang pada 15 November 1825.
Setelah perjanjian itu, Tuanku Imam Bonjol berusaha untuk merangkul kaum adat sembari memulihkan kekuatan kaum padri.
Saat itu, kebetulan, kaum adat juga sedang merasa kecewa guys sama Belanda karena membuat perjanjian damai dengan kaum padri.
Mereka berpikir bahwa Belanda mengkhianati janjinya dan mementingkan kepentingan sendiri. Di samping itu, Tuanku Imam Bonjol juga menyesali tindakan kaum padri ketika perseteruan di antara sesama orang Minang terjadi.
Alhasil, usaha Tuanku Imam Bonjol pun nggak sia-sia. Mereka membuat kesepakatan yang disebut Plakat Puncak Pato di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar. Kesepakatan itu berbunyi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah yang berarti ‘adat Minangkabau berlandaskan agama Islam, agama Islam berlandaskan Al-Qur’an’.
Baca Juga: Kisah Herman Johannes, Insinyur yang Berperang Bersama Ilmunya
Kaum Padri dan Kaum Adat sebagai Masyarakat Minangkabau
Sekitar tahun 1831, kekuatan Belanda usai Perang Diponegoro di Jawa berangsur pulih. Belanda kembali ke Sumatra Barat. Kali ini, Belanda ingin menguasai perkebunan kopi di wilayah Darek yang merupakan kawasan pedalaman Minangkabau.
Belanda pun lagi-lagi mengkhianati janjinya. Mereka menyerang nagari Pandai Sikek yang memproduksi mesiu dan senjata api. Bahkan, mereka membangun Benteng Fort de Kock di Bukittinggi untuk memperkuat tenggernya di Sumatra Barat.
Belanda terus-menerus menyerang kaum padri selama periode 1831—1832. Mereka terus menambah pasukan dari berbagai daerah untuk menumpas kaum padri.
Serangan bertubi-tubi memaksa kaum padri mundur berkali-kali. kaum padri baru berhasil kembali mengalahkan Belanda di bawah tokoh Perang Padri lainnya, yakni Tuanku Rao, di Padang Matinggi pada Januari 1833.
Pada 11 Januari 1833, Belanda juga dibuat kaget oleh serangan mendadak kaum padri dan kaum adat yang telah bersatu terhadap beberapa kubu pertahanan dari garnisunnya.
Waktu itu, Belanda mungkin merasa bagai disambar petir gitu kali, ya. Mereka kehilangan banyak tentara. Mereka juga dikepung oleh seluruh masyarakat Minangkabau, tidak lagi hanya kaum padri.
Nah, bagian ini yang menjadi alur cerita lawan bersatu untuk menyerang musuh yang sebenarnya dalam sejarah Perang Padri.
Menanggapi situasi itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan pengumuman yang disebut Plakat Panjang.
Pengumuman itu berisi pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau bukan bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, tetapi hanya untuk berdagang dan menjaga keamanan sehingga penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak diharuskan membayar pajak.
Belanda juga berkata bahwa penduduk setempat wajib menanam kopi dan menjualnya kepada Belanda untuk biaya menjaga keamanan, membuat jalan, dan membuka sekolah. Belanda saking udah kepepetnya jadi bikin-bikin alasan gitu deh, guys.
Akhir Perang Padri
Pengumuman Belanda memang benar hanya dalih saja. Faktanya, Belanda berusaha untuk menyerang Benteng Bonjol pada tahun yang sama.
Namun, serangan itu dapat diperlambat oleh kaum padri berkat taktik serangan gerilya mereka. Akan tetapi, Belanda tidak menyerah.
Sepanjang tahun 1834, mereka fokus membuat akses jalan dan jembatan ke Bonjol. Hingga akhirnya, mulai 16 April 1935, Belanda bertekad untuk menyerbu dan menaklukkan Bonjol meski akses jalan menuju ke sana belum memadai.
Baca Juga: Jenderal Sudirman dan Taktik Gerilya dalam Perang Kemerdekaan Jilid 2
Meskipun gagal berkali-kali, Belanda tetap berusaha untuk menghancurkan Benteng Bonjol. Selain itu, Belanda juga memblokade Bonjol untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata bagi kaum padri.
Blokade dan serangan bertubi-tubi ini justru membangkitkan semangat perlawanan dari masyarakat Minangkabau. Beberapa kali Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini.
Setelah satu tahun dikepung, Benteng Bonjol akhirnya bisa dijebol oleh Belanda. Akan tetapi, kaum padri yang gigih kembali berhasil dalam memorak-porandakan Belanda hingga keluar dari benteng. Hal ini membuat pemerintah Hindia Belanda murka.
Ilustrasi Perang Padri (upload.wikimedia.org)
Akhirnya, seorang perwira tinggi Belanda yang ahli strategi perang Benteng Stelsel dikirim ke Bonjol. Pengepungan Bonjol dari segala penjuru pun dilakukan selama enam bulan.
Pasukan-pasukan dari berbagai wilayah kekuasaan Belanda didatangkan. Mereka menyerang dan menghujani peluru di wilayah itu selama pengepungan.
Hingga akhirnya, Tuanku Imam Bonjol ditangkap pada 25 Oktober 1837. Penangkapan ini menjadi pukulan berat bagi perlawanan kaum padri. Mereka pun terpaksa meninggalkan Bonjol untuk meneruskan perang di hutan-hutan.
Sebenarnya, Perang Padri tetap berlanjut di bawah kepemimpinan Tuanku Tambusai. Tapi, benteng terakhir kaum padri di Dalu-Dalu yang dipimpinnya diduduki Belanda pada 28 Desember 1838. Dengan demikian, peristiwa ini menjadi akhir Perang Padri.
Jadi, dapat disimpulkan, Belanda memenangkan perang ini, guys. *nangis di pojokan 😭
Dampak Perang Padri
Berdasarkan penjelasan di atas, Perang Padri adalah perang yang berawal dari perang saudara dan berakhir menjadi perang melawan kolonial Belanda.
Tentunya, ada banyak dampak Perang Padri yang dirasakan oleh pihak-pihak yang berperang, bahkan kita sebagai generasi penerus bangsa. Adapun dampak Perang Padri adalah sebagai berikut.
- Banyak korban dari semua pihak yang turut berperang.
- Kerajaan Pagaruyung (wilayah Sumatra Barat) dikuasai oleh Belanda.
- Lahirnya persatuan di tengah beragam tradisi dan agama.
- Penanaman nilai-nilai baik dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Perang Dunia I dan Kegagalan LBB dalam Menciptakan Perdamaian Dunia | Sejarah Kelas 11
—
Selesai deh cerita kita tentang sejarah Perang Padri yang terjadi di Sumatra Barat. Menarik, ‘kan?
Nah, buat kamu yang mau dapat lebih banyak lagi pengetahuan sejarah, download aplikasi Ruangguru, yuk! Setelah itu, kamu tinggal buka ruangbelajar yang menyediakan video pembelajaran dengan beragam animasi menarik. Janji deh belajar bakal terasa lebih menyenangkan!
Referensi:
Poesponegoro, Marwanti Djoened & Notosusanto, Nugroho (ed). (2019) Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka
Perang Padri, Perang Saudara yang Berujung Melawan Belanda [daring]. Tautan: https://www.kompas.com/stori/read/2024/03/01/150000779/perang-padri-perang-saudara-yang-berujung-melawan-belanda?page=all (Diakses pada 17 Juli 2024)
Perang Padri sebagai Revolusi Rakyat Minangkabau dalam Memeluk Agama Islam [daring]. Tautan: https://www.agamkab.go.id/Agamkab/detailkarya/667/perang-padri-sebagai-revolusi-rakyat-minang-kabau–dalam-memeluk-agama-islam.html (Diakses pada 12 Juli 2024)
Sejarah Perang Padri [daring]. Tautan: https://www.bangunpiaman.com/2023/03/sejarah-perang-padri.html (Diakses pada 12 Juli 2024)
Sejarah Perang Padri: Tokoh, Penyebab, Kronologi, dan Dampak [daring]. Tautan: https://regional.kompas.com/read/2022/07/20/183104878/sejarah-perang-padri-tokoh-penyebab-kronologi-dan-dampak?page=all (Diakses pada 12 Juli 2024)
Sejarah Perang Padri, Diawali Perpecahan di Kalangan Rakyat Minangkabau [daring]. Tautan: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6294166/sejarah-perang-padri-diawali-perpecahan-di-kalangan-rakyat-minangkabau (Diakses pada 17 Juli 2024)
Sumber Gambar:
Benteng van der Capellen [daring]. Tautan:https://min.wikipedia.org/wiki/Benteng_Van_der_Capellen#/media/Berkas:Fort_van_der_Capellen1826.jpg (Diakses pada 26 Juli 2024)
Ilustrasi Perang Padri [daring]. Tautan: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/7a/Naar-beide-zijden-front.jpg (Diakses pada 17 Juli 2024)
Artikel ini disunting oleh Laras Sekar Seruni.