Perang Diponegoro: Latar Belakang, Jalannya Perang, Akhir Perang, dan Dampaknya | Sejarah Kelas 11

Perang Diponegoro

Artikel ini akan membahas tentang Perang Diponegoro, mulai dari latar belakang, kronologi, akhir perang, hingga dampaknya pada masyarakat Jawa pada saat itu.

 

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
Maju
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati

Kamu familiar dengan potongan puisi di atas? Puisi tersebut karya Chairil Anwar yang berjudul Diponegoro. Kalau diperhatikan, puisi yang menceritakan Diponegoro ini kesannya heroik banget ya, guys

Tapi, siapa sih Diponegoro itu? Diponegoro adalah seorang pangeran dan juga salah satu pahlawan nasional yang terkenal karena berusaha mengusir penjajah Belanda di Jawa antara tahun 1825 – 1830. 

Perlawanan ini dikenal sebagai Perang Diponegoro dan merupakan salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah persatuan bangsa Indonesia. Sebelum kita bahas latar belakang dari perang yang berhasil menguras kas Belanda habis-habisan ini, kita kenalan sebentar dengan Diponegoro, yuk!

 

Siapa sih Diponegoro itu?

Pangeran Diponegoro lahir dengan nama Bendara Raden Mas Mustahar pada tanggal 11 November 1785. Ibunya bernama R.A. Mangkawati dan ayahnya bernama Gusten Raden Mas Suraja.

Beliau berganti nama menjadi Bendara Raden Mas Antawirya, dan berganti nama lagi menjadi Bendara Pangeran Harya Diponegoro setelah ayahnya naik takhta sebagai sultan Hamengkubuwana III.

Pangeran Diponegoro terkenal cerdas dan suka membaca. Beliau juga memiliki keahlian dalam bidang hukum Islam-Jawa. Gak heran kalau beliau lebih tertarik pada masalah keagamaan timbang masalah pemerintahan di keraton.

Meskipun sempat ditawari untuk melanjutkan takhta ayahnya sebagai sultan, Pangeran Dipoengoro menolak karena bukan merupakan anak permaisuri (ibunda Diponegoro adalah seorang selir). Ditambah, beliau tidak suka dengan kemewahan dan lebih suka hidup bersama rakyat biasa. Pangeran Diponegoro juga merasa pengaruh Belanda di keraton semakin kuat. 

Bahkan, Pangeran Diponegoro lebih memlih tinggal di Tegalrejo, yang berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyutnya, yaitu Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwono I.

Baca Juga: Perang Pattimura: Latar Belakang, Kronologi, Strategi & Akhir Perang | Sejarah Kelas 11

 

Latar Belakang Perang Diponegoro

Secara garis besar, Perang Diponegoro dilatarbelakangi oleh beberapa penyebab, guys. Penyebabnya ini dibagi menjadi sebab umum dan sebab khusus. Kita bahas satu per satu, ya.

 

Sebab Umum 

Pertama, wilayah Mataram yang semakin sempit. Kalau kamu pernah baca-baca tentang Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757), kamu bakal tahu bahwa dua perjanjian ini yang menjadi titik balik dari pecahnya Kesultanan Mataram Islam. 

Dalam Perjanjian Giyanti, Kesultanan Mataram Islam dibagi menjadi dua, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Sementara, dalam Perjanjian Salatiga, wilayah Mataram dibagi lagi menjadi Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. 

Ditambah, pada tahun 1813, Inggris yang sedang berkuasa saat itu mendirikan Kadipaten Pakualaman. 

Wilayah Mataram yang semakin kecil ini membuat pengaruh dari Belanda lebih mudah masuk. Belanda mulai ikut campur dalam permasalahan yang terjadi di keraton. Tidak jarang pula, Belanda mencampuri kebijakan raja saat itu. 

Salah satu kebiasaan buruk Belanda yang suka meminum minuman keras mulai ditiru di kalangan kaum bangsawan, bahkan hingga rakyat biasa. Tentu saja hal ini tidak bisa dibiarkan. Apalagi, Mataram Islam menjunjung nilai-nilai keislaman dalam berkehidupan di masyarakat. 

Sebab umum kedua, terjadi konflik di internal istana atau keraton. Salah satu pemicunya adalah pengangkatan Hamengkubuwono V yang masih kecil sebagai raja, secara gak langsung membawa banyak kepentingan pribadi dari Dewan Perwalian yang dibentuk. 

Apalagi, terlihat juga nih polarisasi dalam tubuh keraton. Ibaratnya kayak kubu gitu deh guys. Kubu pertama ada Ratu Ibu yang merupakan ibunda dari Hamengkubuwono IV, Ratu Kencono yang merupakan ibunda Hamengkubuwono V, dan Patih Daunredja IV. Kubu kedua adalah Pangeran Diponegoro dan pamannya, Pangeran Mangkubumi. 

Sebab umum ketiga, rakyat sangat terbebani dengan pajak yang diterapkan. Gimana nggak, saat itu rakyat harus membayar pejongket atau pajak pindah rumah, kering aji atau pajak tanah, pajiger atau pajak ternak, sampai pencumpling atau pajak jumlah pintu dan pejongket atau pajak pindah rumah! Ckckck~ 

Ya masa jumlah pintu ikutan dipajakin! 😭 

Terus, sebab khusus dari Perang Diponegoro apa aja tuh?

 

Sebab Khusus

Jadi, pada bulan Mei 1825, Smissaert, seorang Belanda yang bertugas menjadi residen (semacam bupati) di wilayah Yogyakarta ditugaskan Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun jalan dan rel kereta api. 

Awalnya pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang melewati Muntilan. Tapi, rencana malah diubah dan membelokkan jalan tersebut melewati Tegalrejo. Ternyata, di salah satu sektor, patok-patok jalan yang dipasang oleh Belanda tepat melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Ketika Pangeran Diponegoro mengetahui perbuatan ini, amarahnya memuncak dan memerintahkan rakyat untuk mengganti patok-patok tersebut dengan tombak sebagai tanda pernyataan perang. 

Selain beberapa sebab umum yang sudah dibahas sebelum ini, kesalahan fatal Belanda saat memasang patok jalan di makam leluhur Diponegoro inilah yang menjadi penyebab utama dari pecahnya Perang Diponegoro.

 

Jalannya Perang Diponegoro

Pada 20 Juli 1825, Belanda mengirim serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Pertempuran pun meletus. Tegalrejo, daerah yang saat itu sedang ditempati Diponegoro dibakar. Perang Diponegoro pun dimulai.

Diponegoro pun berhasil melarikan diri. Ia beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri hingga ke Kulonprogo, dan terus berpindah sampai akhirnya tiba di Goa Selarong yang jaraknya lima kilometer sebelah barat Kota Bantul. Daerah Goa Selarong dijadikan basis utama dari pasukan Diponegoro

Pemberontakan yang dikibarkan Diponegoro tersebar dengan cepat di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur guys. Maka dari itu, Perang Diponegoro juga dikenal sebagai Perang Jawa.

Berdasarkan buku Sejarah Indonesia Modern karya M.C. Ricklefs, 15 pangeran dan 41 bupati bergabung mendukung perlawanan Diponegoro.

Dalam membantu misinya, Diponegoro mengangkat Kyai Mojo yang merupakan ulama terkenal di Pulau  Jawa sebagai penasehat agama. Diponegoro juga mengangkat Sentot Ali Baharsyah Prawiradirja sebagai penasehat militer. 

Selama perang berlangsung, Diponegoro menggunakan beberapa strategi perlawanan. Strategi yang paling terkenal adalah melaksanakan perang secara gerilya atau perang yang dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi

Diponegoro juga merekrut banyak tentara dari kalangan petani. Selain itu, Diponegoro melakukan pendekatan kepada masyarakat Jawa bahwa Diponegoro merupakan Herucokro atau Ratu Adil yang akan memberikan kebebasan pada rakyat Jawa.

Gak sia-sia guys, karena Pangeran Diponegoro berhasil memenangkan beberapa pertempuran dalam melawan Belanda. Misalnya seperti kemenangan pada tanggal 6 Agustus 1825, saat daerah Pacitan berhasil direbut oleh pasukan Pangeran Diponegoro. Kemudian, daerah Purwodadi juga berhasil direbut dari Belanda. 

Belanda juga berhasil dikalahkan dalam pertempuran di Prambanan, Plered, dan Kedu. Kemenangan ini semakin menumbuhkan besarnya dukungan masyarakat Jawa terhadap Diponegoro. 

Belanda gak tinggal diam dong ya. Pada tahun 1827, Belanda melakukan strategi dengan membangun berbagai benteng di tanah Jawa sebagai pertahanan. Strategi ini disebut sebagai siasat benteng stelsel

Di antara benteng-benteng tersebut dibangun jalan yang menjadi penghubung untuk memutus garis komando dan ruang gerak pasukan Diponegoro. Bahkan, Belanda sampai mendatangkan ribuan pasukan dari Sumatra Barat yang awalnya dipersiapkan untuk Perang Padri.

Baca Juga: Perang Padri: Latar Belakang, Kronologi, Tokoh & Dampaknya | Sejarah Kelas 11

Strategi yang dibuat oleh Belanda ini berhasil melemahkan pasukan Diponegoro. Puncaknya, pada tahun 1830, Belanda yang sudah sangat kewalahan dan kehabisan banyak uang memutuskan untuk menangkap Pangeran Diponegoro. 

 

Akhir Perang Diponegoro

Lukisan Penangkapan Diponegoro - Raden Saleh

Lukisan Penangkapan Diponegoro (Raden Saleh, 1857)

 

Akhir Perang Diponegoro terjadi dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro di Magelang pada tanggal 28 Maret 1830. Pada awalnya, Jenderal De Kock, pimpinan dari pihak Belanda untuk berperang melawan pasukan Pangeran Diponegoro mengajak Diponegoro untuk berunding di Wisma Karesidenan Magelang. 

Namun, pada perundingan ini Pangeran Diponegoro justru ditangkap. Kejadian tersebut adalah pelanggaran kode etik oleh Belanda. Setelah ditangkap, Pangeran Diponegoro dikirim ke Batavia dan pasukannya pun kalah dalam perang 5 tahun tersebut karena kehilangan pimpinan. 

Pangeran Diponegoro dipenjara di Stadhuis (sekarang Museum Fatahillah Jakarta). Kemudian ia dipindah ke Manado, lalu dipindahkan lagi ke Makassar. Pangeran Diponegoro wafat pada 8 Januari 1855 di Benteng Rotterdam, Makassar

Demikianlah serangkaian sejarah Perang Diponegoro dan penyebab Perang Diponegoro selama 5 tahun yang sangat melelahkan bagi pihak Pangeran Diponegoro maupun pihak Belanda. 

Peperangan ini menewaskan 200,000 orang militer maupun sipil dari kedua pihak. Perang Diponegoro bagi pihak Belanda membawa akibat kerugian paling parah pada Pemerintah Belanda sampai hampir membuat Pemerintah Hindia Belanda bangkrut. 

 

Dampak Perang Diponegoro

Perang Diponegoro yang menghabiskan banyak sekali uang pihak penjajah Belanda membuat Pemerintah Hindia Belanda semakin gencar untuk ‘mengembalikan kestabilan’ keuangan mereka. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan merampas lahan dan memaksa rakyat Nusantara untuk melakukan tanam paksa (Cultuurstelsel)

Tanam paksa terjadi sejak tahun 1830 sampai tahun 1870. Tentu saja, kebijakan ini meningkatkan penderitaan rakyat Nusantara sampai berlipat-lipat. 

Selain itu, Perang Diponegoro merupakan perang terakhir yang dipimpin oleh kaum bangsawan. Usaha Diponegoro secara tersirat terlihat sia-sia pada saat itu, karena ia takluk dan tidak berhasil mengembalikan Mataram sebelum dikuasai oleh pemerintah Belanda. 

Baca Juga: Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme Eropa di Indonesia | Sejarah Kelas 11

Setelah perang ini selesai, Belanda semakin ‘unjuk gigi’ dengan tunduknya banyak kaum bangsawan terhadap pemerintahan kolonial. 

Butuh waktu puluhan tahun hingga kaum terpelajar dan cendekiawan bermunculan, sehingga mulai timbul kesadaran akan kemerdekaan yang harus diraih.

Gimana, perjuangan Diponegoro semakin membuat kamu sadar gak, kalau dalam melawan penjajahan Belanda, taruhannya nyawa, lho! Sebagai generasi muda, kita harus terus meneruskan perjuangan beliau dengan belajar yang rajin dan menghindari perpecahan di negeri ini, ya!

Nah, buat kamu yang mau dapat lebih banyak lagi pengetahuan sejarah, download aplikasi Ruangguru, yuk! Setelah itu, kamu tinggal buka ruangbelajar yang menyediakan video pembelajaran dengan beragam animasi menarik. Kamu akan happy banget belajar di aplikasi ini karena emang seru dan sangat interaktif.

CTA Ruangbelajar

Referensi:

Poesponegoro, Marwanti Djoened & Notosusanto, Nugroho (ed). (2019) Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka

Ricklefs, M.C. (2022) Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi

Kronologi Sejarah Perang Diponegoro: Sebab, Tokoh, Akhir, & Dampak (daring). Tautan: https://tirto.id/kronologi-sejarah-perang-diponegoro-sebab-tokoh-akhir-dampak-f9ZJ  (Diakses pada 6 September 2024)

Sejarah dan Latar Belakang Terjadinya Perang Diponegoro (Daring). Tautan: https://tirto.id/sejarah-dan-latar-belakang-terjadinya-perang-diponegoro-gjrL (Diakses pada 6 September 2024)

Sumber Gambar:

Depicts the arrest of prince Diponegoro at the end of the Javan War (Raden Saleh) [daring]. Tautan: https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro#/media/Berkas:Raden_Saleh_-_Diponegoro_arrest.jpg (Diakses pada 6 September 2024)

 

Artikel ini disunting oleh Laras Sekar Seruni.

Deksa Nurfadhilah