Hindari Xenofobia, Rasisme, dan Ekstremisme dengan Kuliah di Luar Negeri
Bagi sebagian orang tua, mengizinkan anak berkuliah di luar negeri bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika sebelumnya kedua orang tua belum pernah memiliki pengalaman tinggal di luar negeri dalam waktu yang lama. Khawatir anak sakit dan tidak bisa menjenguk, menjadi minoritas karena agama dan budaya yang berbeda, atau alasan lainnya. Padahal, ada banyak hal positif lainnya yang bisa dipertimbangkan dan menganggap bahwa menyekolahkannya di luar negeri akan menjadi keputusan yang tepat. Apa saja alasan pendukungnya? Mari Smart Parents, disimak uraian berikut ini.
Menjadi Bermultikultural
Belakangan, isu toleransi menjadi yang digembar-gemborkan di Indonesia. Banyak sekali di antara masyarakat yang saling menjatuhkan budaya tertentu karena ketidaktahuan informasi serta latar belakang ragam budaya. Selama ini kebanyakan anak dikurung dalam budaya homogen, dari ia lahir sampai lulus sekolah. Jalan-jalan ke luar kota pun jarang. Akhirnya, ia hanya bisa menghargai hal-hal yang dianggapnya sama dengan kesehariannya. Misalnya, saat anak yang lahir di salah satu kabupaten di wilayah Jawa Tengah dan pada suatu kesempatan bertemu dengan orang-orang bersuku Batak, ia pasti tidak siap. Dengan gaya bicara yang sudah berbeda dan terkesan seperti dimarahi oleh orang Batak, membuat si anak menjadi menjauh dengan orang tersebut.
Selain itu, budaya juga berkaitan erat dengan agama di negara kita. Si anak tadi, mungkin saja menjauh dari orang Batak bukan hanya karena gaya bicaranya yang terdengar agak keras. Namun juga, faktor agama dan makanan akan membuat mereka semakin berjarak. Alih-alih menghormati, anak tersebut bisa jadi akan terus-menerus meninggalkan tatapan aneh. Belum lagi ketika ia bertemu dengan orang Papua, si anak akan menertawakan cara orang tersebut berbicara dan berbahasa. Itu semua terjadi akibat minim informasi dari lingkungannya. Ia tak pernah bergaul dengan beragam orang dengan latar belakang berbeda-beda, jadi semuanya dianggap aneh jika tak sama dengannya.
Anti Xenofobia
Xenofobia atau senofobia adalah ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing. Beberapa definisi menyatakan xenofobia terbentuk dari keirasionalan dan ketidakmasukakalan. Berasal dari bahasa Yunani ξένος, artinya orang asing, dan φόβος, artinya ketakutan. Kata xenofobia diciptakan oleh para penulis yang hidup dalam iklim politik dengan penuh gejolak Renaissance.
Xenofobia tidak memerlukan karakter fisik, baginya semua orang asing yang tidak berasal dari komunitas kita patut didiskriminasi. Sikap seperti ini tentu saja tidak baik. Berawal dari rasa tidak suka, hal ini akan berdampak besar untuk dipupuk menjadi kebencian yang tak beralasan. Nah, berkuliah di luar negeri sudah pasti akan mengurangi sikap dan sifat seperti ini, Smart Parents. Anak akan bertemu dengan siswa lain dari berbagai penjuru dunia. Ia akan terbiasa dan jadi mudah melebur dengan apa yang disebutnya orang asing.
Menjauhi Rasisme
Apa sih bedanya rasisme dengan xenofobia? Perilaku diskriminasi yang dimotivasi oleh perbedaan fisik (warna kulit, jenis rambut, fitur wajah, dan aspek bawaan lahir dari tubuh) itulah rasisme. Contohnya saja, masyarakat di dunia yang tidak suka dengan orang Afrika, bahkan kerap membencinya. Akibat rupanya yang tidak seperti dengan negara maju kebanyakan. Atau contoh lain lagi, pada tahun 1998 terdapat rasisme besar-besaran antara orang Indonesia dengan orang Indonesia keturunan Tionghoa. Toko-toko usaha mereka di wilayah Jakarta khususnya, banyak yang dijarah.
Jika Smart Parents tahu, Presiden Amerika Serikat ke-44 Barack Obama merupakan salah satu pionir yang membuktikan bahwa orang kulit hitam bisa menjadi kepala negara di mayoritas penduduk kulit putih. Nah, coba orang tua perhatikan lagi bagaimana selama ini anak memperlakukan temannya yang berkulit hitam? Biasanya di negara kita hal ini seolah lumrah lho untuk diolok-olok, padahal jelas-jelas tidak sopan, bukan?
Melawan Ekstremisme
Bahaya ekstrismisme sebenarnya jauh lebih besar dibanding terorisme, namun tentu saja seseorang tidak dapat dihukum hanya dengan cara pikirnya. Walau begitu, ekstrismisme merupakan ladang subur berkembangnya benih-benih aksi kekerasan atau terorisme. Hal seperti ini bukan hanya merambah pada orang dewasa lho, namun telah melibatkan generasi anak muda.
Beberapa pakar pendidikan dan psikolog keluarga (Hidayat, 2018) memaparkan indikasi ekstrimisme ini terjadi sejak seseorang mulai menutup dirinya untuk menerima perbedaan cara berpikir dan budaya, merasa keyakinannya lebih tinggi derajatnya dan lebih murni serta mengajak orang lain berpikir yang sama dengan dirinya dengan berbagai macam cara, dari yang persuasif hingga paksaan, intimidasi, group atau social bullying dan bentuk lainnya.
Begitu, Smart Parents. Banyak sekali ‘kan ternyata dampak positif yang tidak terpikirkan oleh kita selama ini? Sekarang tinggal orang tua dan anak yang berusaha mencari informasi sebanyak-banyak untuk memperoleh kesempatan berkuliah di luar negeri. Sambil persiapan ini, tentu saja perlu belajar juga kan? Nah, ayo mulai kuasai topik belajar di aplikasi Ruangguru sekarang! Kini meminta anak belajar seperti mengajaknya main games.