Mengatasi Anxiety, Kegelisahan, dan Emosi Negatif dengan Filosofi Stoik
Artikel ini bercerita tentang bagaimana kita bisa mengatasi anxiety dan berbagai emosi negatif dengan filosofi stoik
—
Tidak bisa dipungkiri, saat ini kita jadi gampang stres. Di rumah nggak ngapa-ngapain, stres. Mau keluar ketemu temen, stres karena takut nularin/tertular penyakit. Pulang dari ketemu temen, masuk kamar, rebahan, liat langit-langit, stres, lalu ngomong dalam hati, “Kenapa hampa sekali hidupku, Tuhan?”
Ini belum ditambah variabel-variabel lain kayak mau lanjut ke kampus mana abis ini? Malam-malam gak bisa tidur dan kepikiran masa depan yang masih gak jelas, dan ngelihat sekeliling kamar lalu nyadar, “KENAPA GELAS GUE DI KAMAR BANYAK BENER YAA?!”
Maka, beruntunglah kamu yang baca artikel ini.
Ada satu ilmu yang bisa ngebantu kamu untuk menghilangkan itu semua. Namanya filosofi Stoik, yang diambil dari bahasa Yunani ‘stoa poikile’ yaitu teras berpilar tempat filsuf zaman dulu nongkrong dan ngobrol-ngobrol.
Filosofi ini asik dan bisa kamu terapkan buat ngilangin berbagai emosi negatif (anxiety, cemas, sedih, marah, dll) dengan cara mengubah mindset aja.
Iya, simpel. Walaupun praktiknya gak sesimpel itu juga sih.
Dalam filosofi Stoik, emosi jiwa itu lahir dari sebuah peristiwa (objektif) yang ditambah opini kita.
Misalnya, kejadiannya adalah NILAI TUJUH DI MATEMATIKA.
Kebanyakan dari kita, ketika mendapatkan nilai tujuh di matematika akan kecewa. Muncul, tuh, emosi jiwa kita. Nah, kalau dilihat oleh Stoik, rasa ‘kecewa’ kamu nggak serta merta muncul karena kamu dapat nilai tujuh di matematika, tapi karena kamu menambah opinimu.
Opinimu inilah yang melahirkan emosi ‘kecewa’ tadi.
Contoh:
Nilai tujuh + ortu bakalan marah (opini) = kecewa
Nilai tujuh + merasa bodoh (opini) = kecewa
Nilai tujuh + merasa gak bakalan keterima di univ favorit (opini) = kecewa
Opini-opini itu lah yang melahirkan emosi jiwa kamu. Karena, pada dasarnya, nilai tujuh di matematika itu cuma kejadian biasa yang sifatnya fakta. Dan perlu diingat, ada buanyak banget variabel yang bikin kejadian itu terjadi. Mulai dari cara belajar kamu, kesehatan, situasi keluarga kamu waktu itu, kondisi mental sewaktu mengerjakan ujian.
Masalahnya, tidak semua dari variabel ini bisa kamu kontrol.
Dalam stoik, apapun yang terjadi di hidup kita itu, ada dua penyebabnya:
1)Faktor internal.
2)Faktor eksternal.
Faktor internal maksudnya apa?
Ya, semua hal “yang bisa kita kontrol”. Kalau dalam KASUS NILAI TUJUH, faktor internalnya adalah cara kita belajar. Di sisi lain, faktor eksternal adalah “segala hal yang tidak bisa kita kontrol”. Misalnya, kondisi keluarga kamu, atau hal-hal yang menyebabkan menurunnya kondisi mental kamu menjelang ujian.
Nah, kalau udah kayak gini? Apa yang bisa kita lakuin?
Simpel, kita fokus di faktor internal aja.
Kita pikirin apa yang bisa kontrol. Kita kerjain apa yang bisa kita kerjain. Usahakan dengan maksimal. Sebaliknya, gak usah peduliin faktor eksternal. Jangan dipikirin, jangan dibuat stres karena… ya kita gak bisa kontrol juga kan? Kita gak bisa ngelakuin apa-apa di bagian itu.
Kita coba contoh lain ya.
Kejadian: Kejebak macet di jalan.
Awalnya kita mikir kalau KEJEBAK MACET DI JALAN (kejadian) akan melahirkan rasa marah. Padahal, setelah ditelisik lagi, rasa marah muncul karena kamu menambahkan opinimu.
Misalnya:
Kejebak macet + Dianggap anak nakal kalau telat sekolah (opini) = Marah
Kejebak macet + “Ngabisin waktu produktif gue” (opini) = Marah
Kehadiran opini-opini itu lah yang ngebuat kamu munculin rasa marah. Filosofi Stoik ini mengatakan kalau kamu bisa mengontrol opini itu, hidup kamu bakalan jauh lebih santai dan bahagia. Dan iya, kamu, kita, nyatanya punya kendali atas pikiran kita sendiri.
Baca juga: Memahami Konsep Ikigai: Biar Bahagia Menjalani Hidup
Marcus Aurelius, salah satu kaisar yang juga filsuf Stoic bilang gini, “It never ceases to amaze me: we all love ourselves more than other people, but care more about their opinion than our own.”
Dalem gak tuh?
Gak cuma itu aja, Marcus Aurelius juga ngasih tahu soal pre-meditation, yaitu soal gimana kita gak boleh berekspektasi terhadap apapun di dunia ini. Karena ekspektasi seringkali ngebawa kita ke hal-hal yang menyakitkan. Bayangin deh buat kasus tadi.
Pertama, setelah selesai ulangan, kamu berekspektasi kalau nilai kamu bakalan dapat sembilan. Eh, begitu nilainya diumumin, kamu dapat tujuh. Bandingkan dengan kamu yang gak berekspektasi apa-apa, atau malah “Ah paling gue remed ini”, tapi ternyata dapat tujuh.
Kejadiannya akan tetap sama: nilai ulangan matematikamu tujuh. Tapi, emosi yang kamu rasain bakalan beda.
Satu hal yang perlu diingat: ekspektasi ≠ action.
Tidak berekspektasi bukan berarti kamu tidak melakukan apa-apa. Itu dua hal yang jauh berbeda. Ekspektasi adalah pikiranmu terhadap hasil dari action yang kamu lakukan.
Kamu boleh berekspektasi paling buruk sekalipun (supaya kamu lebih waspada dan siap menghadapi masa depan), tapi kamunya gak boleh pasrah. Action-nya harus tetap maksimal. Marcus bahkan nyaranin untuk bilang gini ke diri sendiri tiap pagi:
“Today II shall be meeting with interference, ingratitude, insolence, disloyalty, ill-will, and selfishness- all of them due to the offenders ignorance of what is good or evil.”
Tujuannya, supaya kita lebih siap. Kalau kamu ngebayangin hari ini akan terjadi hal-hal buruk, dan di bayangan itu kamu mampu survive, kemungkinan besar kamu bakalan benaran survive menjalani hari.
Kesimpulannya: Setiap pagi, ingatkan diri kalau kamu tidak boleh berekspektasi apa-apa. Lalu, fokuslah di faktor internal. Apa yang bisa kamu kerjain, dan bukannya malah mikirin segala sesuatu yang gak bisa kita kontrol.
Apapun yang di luar kendali kita gak usah pusing-pusing kita pikirin.
Dan ketika peristiwa itu akhirnya terjadi, kendalikan opinimu. Sadari bahwa opinimu akan mempengaruhi emosi yang akan keluar. Mudah-mudahan, kalau udah begini, kamu bakalan jadi Stoik, dan hidup lebih bahagia dan bisa mengatasi anxiety, kegelisahan, dan segala emosi negatif yang berlebihan.
Kalau kamu suka sama materi-materi kayak gini, tulis di kolom komentar ya! Masukan dan ide lain juga boleh banget kamu bilang, biar kita bisa bikinin di artikel selanjutnya. Kalau kamu pengin ngulik materi pelajaran yang masih kesusahan, pahamin aja lewat ruangbelajar!
Referensi:
Manampiring, Henry. (2019) Filosofi Teras. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
‘Marcus Aurelis’. [Daring] carnegielibrary.org. Tautan: https://www.carnegielibrary.org/marcus-aurelius/#:~:text=%E2%80%9CBegin%20each%20day%20by%20telling,is%20good%20or%20evil.%20%E2%80%A6%E2%80%9D (Diakses: 23 Oktober 2020).
Sumber Foto:
‘Woman Holding Huge Flower Bouquet’. (Daring) Tautan: https://www.freepik.com/free-photo/woman-holding-huge-flower-bouquet_7054784.htm#page=1&query=flowers%20&position=21 (Diakses: 23 Oktober 2020).
DEA/G DAagli Orti/De Agostini. ‘Marcus Aurelius’. (Daring) Tautan: https://www.theguardian.com/books/2020/apr/25/stoicism-in-a-time-of-pandemic-coronavirus-marcus-aurelius-the-meditations (Diakses: 26 Oktober 2020)