Tan Malaka: Bapak Republik yang Jejaknya Sempat Dihapus
Yuk kenalan dengan salah satu pahlawan nasional Indonesia, Tan Malaka. Namanya sempat dihilangkan dari sejarah, tapi pemikirannya masih abadi hingga hari ini~
—
Pernah ga sih kepikiran, kenapa ya nama negara kita Republik Indonesia? Kenapa ga Kerajaan atau Kesultanan Indonesia aja?
Nah, kalo menurut para pendiri bangsa, bentuk pemerintahan republik itu lebih cocok untuk Indonesia yang terdiri dari banyak suku dan agama. Karena sistem republik dianggap bisa jadi solusi buat nengahin masalah perbedaan yang ada.
Tapi siapa yang bilang itu pertama kali? Jawabannya adalah Tan Malaka, seorang guru dan pejuang kemerdekaan Indonesia.
Bagaimana ya kisah dan sejarah dari Tan Malaka ini? Supaya lebih seru, ayo kita kenalan lebih dalam dengan Tan Malaka!
Biografi Tan Malaka
Siapa sih Tan Malaka itu? Tan Malaka adalah tokoh kelahiran Sumatra Barat yang berjuang di jalur pendidikan dan pergerakan politik. Nama asli Tan Malaka adalah Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka.
Sejak kecil, Tan Malaka telah mengenyam bangku pendidikan di sekolah. Pada jenjang sekolah lanjut, dia memilih untuk bersekolah di Kwekschool atau Sekolah Guru di Bukittinggi, yang juga dikenal dengan Sekolah Raja di Bukittinggi.
Eits, sekolah ini bukan sembarang sekolah, lho. Lazimnya, hanya mereka yang tergolong penting dan priyayi saja yang bisa masuk.
Di sana, kecerdasan Tan begitu terpancar. Melihat kejeniusannya, G.H. Horensma, salah satu gurunya membantunya supaya berkuliah di Belanda. Harry Albert Poeze, dalam Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik: 1925-1945 (2000) mengatakan, “G.H. Horensma, yang bersama istrinya amat tertarik kepadanya.”
Maka dari itu, setelah lulus dari Kwekschool, Tan Malaka muda melanjutkan sekolah ke Belanda sebagai mahasiswa calon guru di kota Harleem.
Hmm… Sepertinya Tan Malaka muda punya cita-cita mulia untuk jadi seorang guru ya… Kebetulan, di masa itu, menjadi guru adalah pekerjaan keren dan digandrungi sebagian besar masyarakat, guys.
Selama di Belanda, Tan Malaka berkenalan dengan pemikiran-pemikiran politik di Eropa seperti, liberalisme, nasionalisme, dan komunisme. Gagasan dan pemikiran inilah yang memengaruhi semangat Tan Malaka untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme. Ia juga bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia yang lain untuk bertukar pikiran dan berdiskusi.
Sumber: historia.id
Sekembalinya dari Eropa, sosok yang dijuluki Patjar Merah Indonesia ini menjadi guru bahasa Melayu bagi anak buruh perkebunan teh dan tembakau di Sanembah, Sumatera Utara.
Di sana, ia melihat kenyataan hidup rakyat Indonesia. Dia menyaksikan secara langsung penderitaan kaum buruh yang sering ditipu karena tidak pandai berhitung, diperas keringatnya, dan diberi upah rendah. Pokoknya, beliau benar-benar melihat ketimpangan dan ketidakadilan antara kelompok pekerja yang miskin dengan penguasaha yang kaya raya.
Fakta ini yang membuat Tan Malaka berjuang melalui organisasi-organisasi politik dan aktif untuk menyuarakan keresahan rakyat banyak dan perlawanan terhadap kolonialisme.
Tan Malaka bergabung dengan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), yang menjadi cikal-bakal Partai Komunis Indonesia.
Tahun 1920-an, dari Sumatera Utara, Tan berkelana ke Jawa. Sempat menyambangi Yogyakarta, ia lantas berpindah menuju Semarang. Di sana, Tan membangun sekolah untuk anak-anak Sarekat Islam.
Ia mengubah ruang rapat menjadi ruang kelas. Buah semangat dan pemikirannya, ia salurkan melalui pendidikan. Tan, dalam tulisannya di Dari Pendjara Ke Pendjara, mengatakan, “Dalam satu dua hari saja saya sudah bisa mulai dengan kurang lebih 50 murid.”
Sekolah pertama itu pun menjadi percontohan untuk cabang-cabang sekolah yang lain. Iya, sekolah ciptaannya ini sukses. Bahkan ketika Tan Malaka pergi dari Indonesia, sekolah itu tetap berkembang. Mereka pernah mengadakan perkumpulan dan menghadirkan 40 orang utusan dari 16 sekolah. Jumlah total muridnya mencapai 2500 siswa.
Peran dan Perjuangan Tan Malaka
Akibat dari aktivitas politiknya yang berbahaya ini,pemerintah kolonial menangkap Tan Malaka dan mengasingkannya ke Belanda pada 1922. Tapi, pengasingan ini menjadikan Tan Malaka sebagai petualang politik.
Hampir setengah hidupnya ia habiskan dengan bersembunyi dan menjadi buronan Belanda. Selayaknya agen rahasia, Tan berpindah, membentuk gerakan bawah tanah, bergonta-ganti pekerjaan dan membuat nama samaran supaya nggak ketangkep. Wah, kayak di film mata-mata atau agen rahasia gitu ya!
Tan Malaka dikabarkan pernah tinggal di Tiongkok, Rusia, Jepang, Singapura, dan Filipina.
Meski begitu, Tan terang-terangan menentang penindasan. Bayangin, gimana bisa coba dia jadi wakil Komintern (Komunis Internasional) untuk Asia Tenggara dan nggak sependapat dengan Stalin, tapi juga harus kabur dari kejaran Belanda.
Selama menjadi wakil Komintern untuk Asia Tenggara, Tan tinggal di Tiongkok. Di sana lah dia menulis konsep bangsa Indonesia ke dalam buku yang berjudul Naar de Republiek Indonesia.
Tulisan tersebut menjelaskan cita-cita dan struktur negara Indonesia merdeka yang menurut Tan Malaka lebih cocok dalam sistem republik. Pada tahun ini juga karya Tan Malaka ini dicetak dan diterbitkan di Indonesia.
Nah, tulisan Tan Malaka ini viral banget di kalangan pemuda dan pejuang kemerdekaan Indonesia, bahkan terus diperbanyak dan disebarkan oleh kaum terpelajar.
Berkat tulisan ini, pantes dong ya kalau panggilan Bapak Republik Indonesia sebagai julukan dari Tan Malaka. Ya, kita lihat aja gimana pada masa penjajahan Tan Malaka memiliki visi dan cita-cita masa depan tentang bentuk negara. Keren ga tuh?
Di dalam bukunya, dia juga menulis “ramalan” tentang situasi politik internasional antara Jepang dan Amerika yang menyebabkan perang di Pasifik. Situasi yang pas untuk melakukan revolusi terhadap Belanda, nih. Dan kerennya, analisis tersebut benar-benar kejadian. 16 tahun setelah buku itu dicetak, perang pasifik yang membuat gejolak Perang Dunia II terjadi.
Mantap betul!!
Meskipun lebih sering di luar negeri, tekad dan semangat Tan Malaka tak pernah padam. Ia sering menuliskan gagasan dan dukungannya ke kalangan pemuda di Indonesia. Selain Naar de Republik Indonesia, buku Tan Malaka yang lain yaitu Massa Actie (1926) ditulisnya di luar negeri.
Aktivitas menulis Tan Malaka ini terus berlanjut. Bahkan, setelah Indonesia Merdeka, Tan Malaka menulis pemikiran dan perjalanan hidupnya dalam beberapa buku yang menjadi mahakarya atau masterpiece darinya, yaitu Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika) yang berisi tentang analisisnya terhadap rakyat Indonesia yang tidak terbiasa berpikir kritis, tidak logis, serta belum mampu berdialog secara baik.
Buku yang ditulis Tan Malaka lainnya ada Dari Penjara ke Penjara, dan Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi). Beuh, buku-buku tersebut masih terus dibaca dan dipelajari sampe hari ini loh.
Saran aku, kamu harus coba baca buku-buku Tan Malaka sih.
Hingga tahun 1942, merasa kondisi Indonesia sudah mulai aman dari kolonial, Tan pulang ke Indonesia. Akhirnya, setelah 20 tahun pelarian dan harapannya akan Republik Indonesia, ia kembali. Dari Malaya Tan menyeberang ke Sumatra, menyusuri sampai Lampung, lalu menumpang perahu Sri Renjet menuju Banten.
Dari Banten, Tan pindah ke Jakarta. Ia tinggal di Rawa Jati, dekat pabrik sepatu di Kalibata dan menjadi pedagang buah untuk melihat kehidupan rakyat Indonesia dari bawah. Dari Kalibata, Tan bergerak ke Bayah, Banten, menjadi juru tulis dan pengurus administrasi romusa, sembari bersembunyi dari tentara Jepang dengan, lagi-lagi, membuat nama samaran baru. Kali ini ia memilih “Ilyas Husein”.
—
Gokil. Seru banget ya cerita tentang Tan Malaka! Sebelum kamu lanjut baca, misal kamu tertarik lebih dalam dengan materi sejarah nih, kamu boleh loh belajar langsung bareng tutor yang keren-keren dari Ruangguru Privat Sejarah!
Belajar nggak cuma menyenangkan, tapi kamu juga bakal diajari konsepnya sampai paham! Para pengajar di Ruangguru Privat juga sudah terstandarisasi kualitasnya, loh. Kamu juga bisa pilih nih, mau diajarkan secara langsung (offline) atau daring (online). Fleksibel, kan? Untuk info lebih lanjut, cuss klik link berikut!
Tan Malaka setelah Kemerdekaan
Kemerdekaan Indonesia telah berkumandang. Sorak sorai persatuan menjalar seantero negeri. Meski begitu, Tan merasa bahwa Indonesia belum merdeka seutuhnya. Sahut teriakan gembira dari rakyat hanya terdengar riuh dari luar, tapi seperti tidak berjiwa.
Ia pun mulai membongkar penyamarannya satu minggu setelah Indonesia merdeka. Ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka sedang berada di Banten. Begitu mendengar kabar kemerdekaan Indonesia, Ia langsung berangkat ke Jakarta.
Saat ia bertandang ke rumah Ahmad Soebardjo, teman lamanya. Soebardjo menulis pertemuan itu di autobigorafinya. “…ketika saya mendekatinya, saya kaget. ‘Wah, kau Tan Malaka,’ kata saya. “Saya kira kau sudah mati…,” Tan Malaka menjawab, “Alang-alang toh tak dapat musnah kalau tidak dicabut dengan akar-akarnya.”
Baca Juga: Ide dan Pemikiran-Pemikiran Proklamasi Kemerdekaan 1945
Sungguh suatu jawaban yang quote-able dan bisa muncul di film-film jagoan. Jawaban yang bisa kita gunakan sehari-hari dan sangat terdengar keren. Contoh:
“Udah putus berbulan-bulan kok masih belom bisa move on sih lo?”
“Alang-alang toh tak dapat musnah kalau tidak dicabut dengan akar-akarnya…”
“…”
Lanjut. 9 September bulan depannya, Sekutu mulai mendarat di Jakarta untuk melucuti tentara Jepang. Situasi ini membuat Tan berpikir untuk menggunakan strategi politik dari buku yang dia ciptakan sendiri: Massa Actie.
Hal ini dikarenakan, masih banyak orang yang ragu bahwa kemerdekaan ini didukung oleh rakyat, terutama dari pihak Sekutu yang mencoba masuk ke Indonesia. Maka dari itu, Tan Malaka kemudian mengumpulkan para pemuda untuk melakukan gerakan massa. Para pemuda dikirim ke kampung-kampung untuk mengajak warga sekitar berkumpul.
Sekutu pasti jiper kalo Indonesia ngumpulin rakyat dan menggerakkan aksi massa.
Sumber: Repro “Impressions of the Fight in Defense of Freedom and Democracy in Indonesia”
Hingga akhirnya, pada 19 September 1945, atau kira-kira sebulan setelah proklamasi, masyarakat sekitar kota Jakarta berbondong-bondong menuju lapangan IKADA (Ikatan Atletik Djakarta, sekarang lapangan Monas). Peristiwa ini lebih dikenal dengan Rapat Raksasa Lapangan IKADA.
Peristiwa ini menjadi penting karena menunjukkan kepada tentara Sekutu bahwa rakyat Indonesia mendukung penuh kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Tidak kurang dari 200 ribu masyarakat tumpah memenuhi lapangan, bertemu dengan pemerintah Indonesia saat itu. Penjagaan ketat dilakukan oleh tentara Jepang agar tidak terjadi pertumpahan darah.
Popularitas yang tinggi, gagasan besar, serta jiwa revolusioner membuat rekan-rekan Tan mengusulkan agar ia dimasukkan ke dalam Pemerintahan.
23 September, Achmad Soebardjo mengundang Soekarno, Moh Hatta, dan tokoh politik lain ke rumahnya untuk bertemu dengan Tan Malaka. Membuka penyamarannya, Tan mengatakan pentingnya memberi penerangan kepada rakyat tentang perjuangan Republik Indonesia.
Pentingnya memberi kabar seluas-luasnya, bahwa Indonesia telah merdeka seutuhnya.
Hatta lalu melamarnya untuk menjadi Menteri Penerangan, tapi Tan menjawab, “Di waktu sekarang Saudara berdua, Soekarno-Hatta, sudah tepat itu. Biarlah saya menyokong dari belakang dengan mengerahkan rakyat di belakang Saudara.”
Masa-masa akhir 1945 menjadi masa yang panas. Belanda yang membonceng Sekutu perlahan demi perlahan tiba di Indonesia. Kedatangannya mendapat berbagai tanggapan. Rakyat berpikir kalau Belanda akan kembali menjajah.
Baca Juga: Tugas dan Tujuan Kedatangan NICA di Indonesia | Sejarah Kelas 8
Tapi Sjahrir beserta Soekarno dan Hatta memilih jalan diplomasi.
Tan yang bersikap revolusioner merasa gerah dengan keputusan yang diambil kabinet Sjahrir. Begitu juga dengan Jenderal Besar Soedirman yang sependapat. Mereka gemas kepada kabinet Sjahrir yang tidak ingin dengan lantang bilang ke Belanda kalau Indonesia udah merdeka tanpa harus berunding lagi.
Apalagi karena waktu itu ada desas-desus masih mau negosiasi tentang batas-mana-sih-yang-diakui-merdeka-dari-Belanda (yang ujungnya ketakutan Tan benaran terjadi lagi: Di perjanjian Linggarjati Belanda cuma mengakui wilayah Indonesia atas Sumatra, Jawa, dan Madura).
Pada 4 Januari 1946, pendukung Tan Malaka yang kecewa pada pemerintahan Sjahrir, bergabung membentuk kelompok Persatuan Perjuangan. Kelompok ini kemudian mengadakan kongres pertama yang dihadiri 132 organisasi sipil, partai, laskar, dan ketentaraan di Gedung Serba Guna Purwokerto.
Pembicara utamanya, siapa lagi kalau bukan Tan Malaka dan Jenderal Soedirman. Di sana, Soedirman berseru, “Lebih baik kita dibom atom daripada merdeka kurang dari 100 persen!”
Baca Juga: Perjanjian Linggajati: Latar Belakang, Tokoh, dan Hasilnya | Sejarah Kelas 9
Gils. Duo ini emang terbilang akrab dan gahar banget. Adam Malik dalam “Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45” Menyebut Tan Malaka dan Soedirman sebagai “dwitunggal”.
Karena dianggap terlalu lembek terhadap Belanda, lahirlah peristiwa 3 Juli 1946, kudeta pertama dalam sejarah di Indonesia.
Kelompok oposisi menganggap Sjahrir gagal mewujudkan pengakuan kedaulatan Indonesia yang seratus persen.
Kudeta ini terbilang cukup brutal dan agresif. Kelompok Persatuan Perjuangan berencana menculik anggota kabinet Sjahrir. Di saat yang sama, Pemerintah berhasil mengendus rencana ini, dan mengambil keputusan untuk meringkus kelompok ini terlebih dahulu. Maka terjadilah permainan bernama Siapa-Yang-Berhasil-Menculik-Siapa-Duluan.
Eh, hatiku diculik insta story-mu. 🙁
Skip. Permainan dimenangkan oleh Pemerintah. Pada 23 Maret 1946, Tan Malaka, Soebardjo, dan Soekarni dijebloskan ke penjara selama 2 tahun. Hal ini membuat pendukung dan simpatisannya semakin marah.
Pada 27 Juni 1946, Sjahrir, Menteri Kemakmuran Darmawan Mangunkusumo, dan beberapa tokoh kabinet berhasil diculik oposisi. Mereka membawa Sjahrir ke Boyolali.
Besoknya, Soekarno menyatakan bahwa Indonesia dalam keadaan gawat darurat. Pada 29 Juni, Soekarno, melalui siaran radio menuntut pembebasan Sjahrir dan para menterinya.
Setelah Tan dibebaskan dari penjara Magelang, ia masih risau dengan situasi di Indonesia. Ia mencoba mengumpulkan pendukung dan menggagas partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) 7 November 1948.
Landasan partai ini: antifasisme, antiimperialisme, dan antikapitalisme. Lagi-lagi, Tan tidak ambil pusing soal jabatan. Ia membiarkan Sukarni yang mengambil posisi ketua.
12 November 1948, Tan ke Kediri, memulai pergerakan gerilya. Di sana, ia bertemu dengan prajurit TNI dan pimpinan politik. Tulis Harry A Poeze, dalam bukunya Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4, Tan berjalan-jalan untuk melihat dan mencari tahu keadaan penduduk kampung yang miskin dan keinginan-keinginan mereka. Untung saat itu belum ada Instagram. Bisa-bisa dia tergoda bikin update status: “Jangan rebahan di rumah aja, Bro! Indonesia itu luas! MY TRIIIP…”
Kerasnya Tan menolak cara Soekarno-Hatta justru dinilai membahayakan Indonesia. Pemerintah terus mencari dan mengejarnya.
Kini ia tidak hanya buron di mata Belanda, tapi juga negara yang ia gagas sendiri.
Ia pun melarikan diri ke selatan Jawa Timur. Saat menyusuri Gunung Wilis di Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya.
21 Februari 1949, Suradi Tekebek (Betul, ini nama orang) mengeksekusi mati Tan Malaka. Makam Tan Malaka berada di desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Poeze menulis di bukunya dengan kalimat, “Kematianya dirahasiakan bertahun-tahun.”
Pada 28 Maret 1963, Soekarno mengangkat Tan Malaka menjadi pahlawan nasional.
Baca Juga: Hari Pahlawan: Mengenal 10 Pahlawan Indonesia yang Belum Banyak Dipublikasikan
Sayangnya, kisah Tan Malaka ini sempat jarang terdengar oleh khalayak umum. Mungkin hanya sejarawan, politisi, dan keluarganya saja yang mengenal Tan Malaka. Maka dari itu, dalam satu edisinya Majalah Tempo membuat edisi khusus berjudul Tan Malaka Bapak Republik yang Terlupakan.
—
Semoga, dengan artikel ini paling tidak kamu tahu ada salah satu orang jenius yang revolusioner meski terbilang agak keras ya.
Nah, kalau kamu mau materi-materi pelajaran kayak gini ada dalam bentuk video yang interaktif dan seru, tonton aja lewat ruangbelajar!
Artikel ini ditulis pertama kali pada 4 September 2019, kemudian diperbarui oleh F. Lazuardi.