Dilema Pola Asuh Anak: Mengatur atau Membebaskan?
Artikel ini membahas bagaimana penerapan pola asuh anak yang tepat? Mengatur atau membebaskan anak?
—
Sebagai orang tua, tentunya kita ingin memberikan yang terbaik untuk anak kita. Rasanya tuh, jangan sampai deh anak kita salah langkah dalam meniti masa depannya. Untuk itu, sering kali kita memberikan berbagai aturan supaya anak tetap on track, berada di jalur (menurut kita) baik dan benar. Ditambah dengan pengaruh lingkungan dan budaya kita, bahwa memiliki anak yang nurut dan patuh menjadi pencapaian tersendiri bagi orang tua.
Pola Asuh Proksimal (Mengatur)
Heidi Keller, Psikolog dari Universitas Osnabruck, Jerman menamakan pola asuh mengatur tersebut dengan istilah pola asuh Proksimal. Sebuah pola asuh yang umumnya diterapkan oleh orang tua di Asia. Keller menjelaskan bahwa anak-anak yang dididik dengan pola asuh ini akan membentuk kemampuan dalam mengatur emosi diri atau self-regulation. Selain itu, sang anak juga lebih mudah hidup berdampingan dengan aturan bermasyarakat (norma). Hal ini dikarenakan mereka sudah terbiasa menjalani berbagai aturan yang dibuat orang tuanya di rumah.
Sayangnya, tidak jarang di antara kita yang bertindak over atau berlebihan. Tanpa disadari, kita menjerumuskan diri, terlalu mengatur hidup anak kita. Misalnya, turut andil dalam menentukan kursus, memilihkan ekskul, hingga memetakan cita-citanya. Namun, apakah terpikirkan oleh kita: Sebetulnya anak kita butuh nggak ya kursus tersebut? Apakah ekskul yang kita pilih sesuai dengan minat dan bakatnya? Dan juga, apakah cita-cita yang telah kita petakan sesuai dengan kemampuan dan interest anak?
Tindakan over seperti di atas lahir dari sense belonging yang kuat karena kedekatan fisik yang konsisten di antara orang tua Proksimal dengan anak-anaknya. Kuatnya rasa memiliki tersebut menjadikan kita merasa berhak sepenuhnya atas keputusan masa depan anak-anak kita. Dampak buruknya, anak menjadi kurang percaya diri, pasif dan mempunyai sisi ketergantungan yang tinggi pada orang tua.
Baca juga: Apakah Anda Orang Tua yang Termasuk Toxic Parents?
Pastinya, kita nggak mau dong anak kita nurut, baik dalam mengontrol emosi diri (self-regulation), namun jadi terbatas potensinya karena kita terlalu mendominasi dalam menentukan masa depannya?
Untuk itu, kita bisa mengkombinasikannya dengan pola asuh Distal.
Pola Asuh Distal (Membebaskan)
Pola asuh Distal umumnya diterapkan oleh orang tua barat. Pola asuh ini menekankan kemandirian dan membebaskan anak. Mereka dibebaskan untuk bereksplorasi, memilih apa yang mereka suka dan minati. Cara tersebut mendorong anak mengenali diri sedini mungkin atau self-recognition. Bentuk dukungan yang orang tua berikan adalah dengan memberikan pujian pada anak dan menghindari sikap mengkritik demi melindungi harga diri anak-anak. Orang tua memperlakukan anak bukan sebagai bayi, tetapi sebagai orang dewasa. Itu sebabnya, anak-anak di Barat lebih percaya diri, ekspresif, berani mengatur, berargumen, dan menyampaikan gagasan.
Perbedaan pola asuh proksimal dan distal. (Foto: Ketut Subiyanto via Pexels)
Akan tetapi, terdapat dampak lain dari penerapan pola asuh Distal. Karena dalam kesehariannya anak-anak memiliki posisi yang setara dengan orang tua, maka aturan yang mengikat tidak diberlakukan untuk anak-anak. Akibatnya, mereka menjadi lebih sulit berdampingan dengan aturan bermasyarakat (norma). Selain itu, anak-anak dengan pola pengasuhan ini cenderung secara perlahan menjadi “penguasa” di lingkungannya. Mereka menangis dan melakukan apapun agar keinginannya terpenuhi.
Jadi, lebih baik mana? Pola asuh yang mengatur atau membebaskan?
Memang, nggak ada rumus pasti mengenai pola pengasuhan untuk membentuk anak yang paling sempurna. Meskipun begitu, pola asuh yang mengatur seperti Proksimal dan membebaskan seperti Distal dapat saling melengkapi. Kombinasi positif antara keduanya akan membentuk anak yang berani berekspresi akan potensinya namun tetap bisa mengontrol diri dengan menghargai orang tua dan mematuhi aturan.
Untuk itu, kita bisa mulai dengan membiarkan sang anak mencari tahu apa yang ia suka dan minati. Selanjutnya, observasi kekurangan dan kelebihannya. Jadikan hasil observasi tersebut sebagai pedoman kita untuk memberikan arahan yang positif dan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan potensinya. Nah, ruangbelajar dapat menjadi salah satu fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan akademik anak. Di sana terdapat berbagai latihan soal dan video pembelajaran beranimasi untuk memudahkan anak belajar.
Download sumber:
Heidy Keller – Distal and proximal parenting as alternative parenting strategies during infants’ early months of life: A cross-cultural study