Kereta Menuju Langit
Karya: Mochamad Bayu Ari Sasmita
—
Sejumlah anak tiba di stasiun dan mendapati sebuah kereta yang begitu panjang dan berwarna perak berhenti di sana. Seorang pria tua berjanggut putih turun dari sana, melepaskan topinya, dan menyambut anak-anak itu.
Pria tua berjanggut putih tersenyum, keriput di wajahnya sama sekali tidak membuat takut anak-anak itu. Mereka mendekati pria tua berjanggut putih itu dan mengajukan berbagai pertanyaan.
“Ke mana kereta ini akan pergi?”
“Apa kami boleh naik?”
“Berapa cepat kereta ini berjalan?”
“Apa kakek yang mengemudikannya?”
“Apa saya bisa mengemudikannya seperti kakek?”
Pria tua berjanggut putih itu, meskipun tampak kewalahan, tetap berusaha memasang senyuman yang ramah, sebuah senyuman orang tua yang mengayomi, bukan mengintimidasi. Anak-anak suka senyuman semacam itu. Dia kemudian berjongkok untuk menyesuaikan tinggi tubuhnya dengan tinggi anak-anak itu. Dia ingin menyetarakan diri dengan mereka, tidak ada niatan sedikitpun untuk mendominasi.
Lalu, dia letakkan tangan kanannya pada salah satu kepala anak-anak itu dan mengelus-elus rambutnya yang semestinya sudah dipangkas di tukang cukur kalau tidak ingin terkena razia rambut di sekolah. Tapi toh mereka tidak perlu lagi menghadiri sekolah, tidak perlu lagi untuk merasa takut terhadap guru yang membawa gunting rambut karena lupa pergi ke tukang cukur pada hari Minggu.
Dia menjawab semua pertanyaan itu, satu per satu, dengan suara pelan yang penuh kasih sayang. Dia berkata bahwa kereta itu akan berangkat menuju langit dan mereka boleh naik ke dalamnya: gratis, tanpa dipungut biaya sepeser pun. Tapi mereka tidak akan bisa menjadi seperti dirinya, menjadi seorang pria tua berjanggut putih yang mengemudikan kereta. “Kalian akan tetap menjadi anak-anak untuk selama-lamanya.”
Mereka, setelah mendengar jawaban yang terakhir, sedikit murung. Tapi pria tua berjanggut putih itu segera menghibur mereka. “Selalu menyenangkan menjadi anak-anak.”
“Apa benar begitu?”
“Tentu. Kakek selalu berharap bisa menjadi anak-anak lagi.”
“Tapi anak-anak itu lemah. Jika berdesakan, mereka akan terhimpit dan lebih cepat kehabisan napas.”
“Kalian tidak perlu khawatir. Di dalam kereta ini kalian tidak perlu berdesak-desakan. Selalu tersedia cukup ruang bagi setiap penumpang. Tidak perlu khawatir kalah tangguh. Tidak ada lagi adu tangguh di tempat tujuan kita nanti. Mari naik.”
Baca Juga: Cerpen Tengka Karya Rofiatul Adawiyah
Anak-anak itu berbaris, berbaris secara tertib seperti yang pernah diajarkan guru taman kanak-kanak mereka setiap pagi sebelum masuk kelas. Begitu pintu terbuka, satu per satu dari mereka memasuki kereta. Pria tua berjanggut putih itu tersenyum melihat kaki-kaki kecil itu saling menjaga jarak, tidak saling tubruk, dan bersedia masuk sesuai urutan.
Tidak ada sesuatu yang membuat mereka terburu-buru. Setelah semuanya sudah masuk, pintu tertutup lagi secara otomatis. Pria tua berjanggut putih berjalan ke gerbong paling depan dan masuk melalui pintu otomatis. Dia menyalakan mesin kereta dan perjalanan menuju langit pun dimulai.
Rel kereta mengambang di udara, semakin jauh semakin tinggi posisinya. Anak-anak melihat ke jendela, mengamati pemandangan tempat yang telah mereka tinggalkan. Ada asap putih, kerumunan orang, orang-orang yang berlarian karena dikejar petugas berseragam. Salah satu dari mereka menunjuk-nunjuk sebuah objek di bawah sana dan berkata kepada teman di sampingnya.
“Itu ayahku, dia sedang menggendong tubuhku.”
“Wah. Kasihan. Apa dia baik-baik saja?”
“Mungkin tidak. Kami terkena asap putih yang membuat dada sesak.”
“Kau kehabisan napas?”
“Ya.”
“Aku terinjak, terpojok di sudut pintu keluar. Sama. Dadaku juga sesak, lalu kehabisan napas.”
Kereta bergerak semakin tinggi, semakin jauh dari pemandangan itu. Kereta kemudian menerobos gumpalan awan dan terus bergerak ke atas untuk menuju ke ruang angkasa. Semua anak melihat ke jendela, kiri dan kanan, dan mendapati berbagai planet, bintang, dan asteroid bertebaran di sekitar mereka.
“Ini seperti yang pernah aku tonton di film-film animasi. Pertarungan robot di luar angkasa. Apa kita sudah sampai?”
“Sepertinya belum. Kereta masih dalam kecepatan penuh, tampak belum melambat sedikit pun.”
“Ini keren.”
Anak-anak itu sulit melepaskan pandangan mereka dari pemandangan ruang angkasa yang begitu fantastis.
Pria tua berjanggut putih mendengar riuh kebahagiaan mereka dari tempat masinis. Seperti tadi, dia tersenyum; senyuman yang dimiliki orang-orang yang berbahagia dan dipenuhi rasa syukur.
Baca Juga: Cerpen Masalah Pengarang Pemula Karya Edy Firmansyah
Tiba-tiba pemandangan ruang angkasa itu habis dan digantikan oleh sebuah pemandangan putih, bersih, tenang, dan indah. Anak-anak itu ternganga. Pria tua berjanggut putih menarik sebuah mikrofon dan memberikan pengumuman bahwa kereta sudah hampir sampai di tempat tujuan. Tidak lama kemudian, kereta berhenti, pintu terbuka, dan anak-anak berbaris lagi untuk kemudian keluar secara berurutan.
Begitu sampai di luar, mereka segera disambut sebuah pemandangan taman yang berwarna hijau segar, air mancur yang berkilauan, sebuah lapangan kecil untuk bermain, berbagai wahana permainan yang tidak berbahaya, dan sebagainya.
Di sanalah mereka kini berada, di sebuah tempat yang tak teridentifikasi, tapi aman, tenteram, indah, damai, dan tampak menyenangkan. Di kejauhan sudah ada sejumlah anak yang tampaknya telah datang lebih dahulu. Pria tua berjanggut putih turun sebentar untuk berpamitan kepada mereka.
“Kakek akan pergi lagi?”
“Tentu. Masih banyak anak-anak di bawah sana yang menderita. Kakek perlu mengantar mereka ke tempat ini, ke tempat yang menyenangkan dan dipenuhi kedamaian dan keamanan ini. Bersenang-senanglah. Sampai jumpa.” Dia naik ke kereta lagi dan kereta berputar kemudian turun dengan kecepatan cahaya.
Anak-anak itu segera berlarian, menggabungkan diri kepada anak-anak yang lain di kejauhan sana, bermain bersama, tertawa bersama, berbahagia bersama. Tidak ada lagi air mata, sesak nafas, terinjak-injak, peluru menembus dada atau batok kepala. Tidak ada kesedihan di tempat itu. Sebuah tempat yang hampir sempurna bagi anak-anak.
Baca Juga: Cerpen UFO Karya Mochamad Bayu Ari Sasmita
Tentang Penulis:
Mochamad Bayu Ari Sasmita lahir di Mojokerto pada HUT ke-53 RI. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di sejumlah media daring dan luring. Sekarang tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Dapat disapa di akun instagram @sasmita.maruta.
—
Ruangguru membuka kesempatan untuk kamu yang suka menulis cerpen dan resensi buku untuk diterbitkan di ruangbaca, lho! Setiap minggunya, akan ada karya cerpen dan resensi buku yang dipublikasikan. Kamu bisa baca karya cerpen menarik lainnya di sini, ya. Yuk, kirimkan karyamu juga! Simak syarat dan ketentuannya di artikel ini. Kami tunggu ya~